Senin, 31 Oktober 2022

Bahagiakan Wajahmu dengan B Erl Cosmetics. Skincare halal yang akan menjadikan wajahmu tak sekadar glowing.

Bahagiakan Wajahmu dengan B Erl Cosmetics. Skincare halal yang akan menjadikan wajahmu tak sekadar glowing.

Setiap perempuan pasti menginginkan paras yang cantik dan menawan. Tak hanya oleh mereka yang masih gadis, yang sudah menikah pun tak mau ketinggalan. Justru yang sudah menikah wajib merawat wajah dan tubuh karena itu adalah salah satu penunjang agar suami betah di rumah. Bukankah dalam hadits pun bilang jika menyenangkan hati suami saat memandang adalah kewajiban seorang istri?

Di era modern ini, rasanya untuk mendapatkan wajah yang sehat dan terawat tidaklah sulit. Berbagai merk sikincare atau kosmetik bertebaran di toko-toko online maupun offline. Bahkan di market place banyak sekali merk skincare yang memiliki manfaat dan keunggulan masing-masing. Kita tinggal pilih merk mana yang sesuai dengan kondisi kulit kita, tapi satu hal yang wajib diperhatikan adalah kehalalan merk tersebut. Paling tidak, harus sudah BPOM.

Mengapa skincare yang kita pilih harus sudah BPOM? Alasannya tentu karena skincare tersebut sudah diteliti bahan-bahan pembuatannya sehingga kita akan merasa lebih tenang dan aman saat menggunakannya karena sudah memenuhi kriteria keamanan, manfaat, mutu, penandaan dan klaim. Tak terlalu khawatir akan berdampak fatal terhadap wajah apalagi sampai menimbulkan penyakit-penyakit yang tak diinginkan jika dipakai jangka panjang seperti gagal ginjal, kerusakan paru, kanker kulit dan lain-lain.

Untuk muslimah, tak perlu khawatir atau galau dengan berbagai macam skincare yang tersebar saat ini sebab ada satu merk skincare yang sudah BPOM, halal bahkan cocok untuk ibu hamil dan menyusui. B Erl Cosmetics adalah solusi dan pilihan tepat para muslimah untuk perawatan wajah terbaiknya. Tak hanya untuk kulit normal, tapi B Erl Cosmetics juga menyiapkan solusi untuk kulit berminyak dan berjerawat.

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, salah satu perawatan dasar memakai skincare adalah CTMP yaitu Cleansing, Toning, Moisturizing dan Protecting. Setelah rutin melakukan perawatan dasar ini bisa ditambah dengan skincare lain untuk menambah keglowingan wajah masing-masing.

Di tahun-tahun sebelumnya, mungkin glowing adalah kondisi kulit wajah yang nyaris sempurna. Wajah yang sehat, terawat dan bersinar, seperti kata glow sendiri yang memang diartikan cerah atau sinar. Namun di tahun 2022 ini, kondisi terbaik wajah tak hanya glowing, melainkan glazed skin.

Glazed skin awalnya dipopulerkan oleh Hailey Bieber yang tak lain adalah istri dari musisi terkenal Justin Bieber. Hailey memang sering menjadi sorotan karena kerap membagikan tips kecantikan melalui konten di channel YouTube pribadinya. Seperti yang akhir-akhir ini booming dengan tren kecantikannya yang disebut glazed donut skin.

Tren kecantikan Glazed donut skin ini memiliki tampilan wajah seperti donat yang lembut dan berkilau, tak sekadar bersinar tapi memiliki tingkat lebih baik dibandingkan itu. Ciri wajah yang glazed skin adalah sehat, berkilau dan glowing sempurna.

Di tengah maraknya kosmetik-kosmetik yang ada, kita tak perlu risau atau bingung memilih mana kosmetik yang akan membuat wajah kita glazed skin atau satu tingkat lebih baik dibandingkan glowing, karena kabar baiknya B Erl Cosmetics memiliki satu serum unggulan yang dinamakan B Erl Active Glow Booster Serum. Serum ini akan membuat kulit terhidrasi dan skin barrier terlindungi.

Dengan formulasi alcohol free dan fragrance freenya, B Erl Cosmetics Active Glow Booster Serum ini memiliki manfaat untuk mencerahkan kulit wajah secara maksimal, memperkuat skin barrier dan memberikan kelembapan pada kulit sehingga kulit akan terlihat lebih cerah dan sehat serta berkilau jika diaplikasikan rutin di kulit wajah.

Selain itu, dengan hero ingredients niacinamide PC 8% yang merupakan vitamin B3 dengan grade lebih baik dan memiliki tingkat residu asam nikotinat rendah sangat cocok dipakai untuk semua jenis kulit. B Erl Cosmetics tak hanya bisa dipakai untuk perempuan dewasa, tapi juga remaja, ibu hamil dan menyusui bahkan cocok digunakan untuk kaum lelaki.

B Erl Active Glow Booster Serum memiliki tekstur yang kental, tapi tidak lengket sehingga nyaman saat digunakan. Ada dua cara penggunaannya yaitu dengan di-mix atau dengan layering. Cara pertama bisa mencampurkan 2-3 tetes saja dengan B Erl WoW Lightening facial serum ke telapak tangan lalu meratakan ke wajah sampai meresap. Cara kedua bisa dengan layering yaitu mengaplikasikam 2-3 tetes B Erl Active Glow Booster Serum ke telapak tangan lalu meratakannya ke wajah hingga meresap. Setelah itu dilanjutkan dengan B Erl WoW Lightening facial serum.

Jadi, tunggu apalagi? Lekas wujudkan glazed skinmu dengan B Erl Active Glow Booster Serum. Kulit wajah sehat, lembut dan berkilau maksimal yang tak sekadar glowing. Bahagiakan wajahmu dengan B Erl Cosmetics. Glazed Skin for next level with B Erl Active Glow Booster Serum.

#glazed Skin
#glazed Skin for next level
#glazed Skin B Erl Cosmetics

Continue reading

Jumat, 28 Oktober 2022

Ciptakan Glazed Skin, Standar Kecantikan Masa Kini dengan B Erl Cosmetics

Glazed Skin


    Tak munafik jika setiap perempuan ingin terlihat cantik dan menarik di manapun dan kapanpun bahkan di depan siapapun. Baik yang masih single maupun yang sudah menikah. Keinginan terlihat cantik dan menarik bukan semata-mata untuk menarik lawan jenis, tapi dengan memiliki wajah yang cantik bisa menambah rasa percaya diri saat bertemu dengan banyak orang. 

    Jika menyebut kata cantik, pasti wajahlah bagian pertama yang akan terlihat oleh mata. Artinya, wajah memiliki peran terpenting dari tubuh seseorang agar bisa disebut cantik. Perempuan yang dikatakan cantik bukan hanya untuk mereka yang pandai merias diri dengan make up, tapi lebih kepada perempuan yang memiliki wajah sehat, terawat dan mengkilap meski tanpa make up sekalipun. Istilah populer saat ini adalah glazed skin

    Apakah glazed skin ini sama dengan glowing? Jawabannya tentu berbeda, sebab glazed skin memiliki level lebih tinggi dibandingkan glowing. Pada umumnya glowing adalah salah satu ciri kulit sehat yang permukaannya halus dan rata sehingga akan terlihat bersinar jika terkena pantulan cahaya, sementara glazed skin adalah kondisi kulit yang lembut, sehat, berkilau dan cerah mengkilap maksimal. Glazed skin memiliki satu tingkat lebih baik dibandingkan glowing.  

So, glazed skin for the next level of glowing. 

    Ada kabar baik di tahun 2022 ini karena B Erl Cosmetics memperkenalkan pada kita semua tentang produk terbarunya yaitu B Erl Active Glow Booster Serum untuk mendapatkan perawatan wajah terbaik dan tak sekadar glowing yang disebut glazed skin

    Dengan formulasi alcohol free dan fragrance free serta ingredients yang terbaik yaitu niacinamide PC 8%, B Erl Active Glow Booster Serum ini memiliki banyak khasiat untuk kulit di antaranya bisa mencerahkan kulit wajah, memperkecil pori-pori, mempertahankan kelembapan kulit, mencegah penuaan dini dan lain-lain. Intinya adalah kulit terhidrasi dan skin barrier terlindungi hingga mendapatkan kondisi yang glazed skin itu sendiri. 

    B Erl Cosmetics juga memiliki produk perawatan wajah yang lengkap mulai dari cleansing, toning, moisturizing dan protecting. Rangkaian produk B Erl Cosmetics atau disebut Intense Lightening Series ini adalah serangkaian perawatan untuk membantu semua permasalahan kulit wajah dari yang normal, berjerawat maupun berminyak. Perawatan ini diperlukan agar kulit kita selalu ternutrisi dan dapat merangsang pembentukan kolagen. 

    Selain sudah berBPOM dan halal, B Erl Cosmetics juga aman digunakan dalam jangka waktu panjang. Produk ini bisa dipakai oleh laki-laki dan perempuan baik yang masih remaja maupun yang sudah dewasa. Bahkan B Erl Cosmetics juga aman untuk ibu hamil dan menyusui. 

    Jadi, untuk mendapatkan glazed skin, kita bisa memulai dengan rangkaian B Erl Cosmetics yang lengkap ditambah B Erl Active Glow Booster Serumnya secara rutin. Nggak percaya? Silakan mencoba dan temukan keajaibannya! 

#glazedskin

#glazedskinfornextlevel

#glazedskinberlcosmetics







Continue reading

Senin, 24 Oktober 2022

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 8


 Part 8 CERAI?

[Assalamualaikum. Hai Lia gimana kabarmu?]

 

Ada sebuah chat masuk ke aplikasi hijauku. Tak ada foto profilnya. Kulihat dia masih online. Hanya kubaca tanpa kubalas.

 

Aku tak tahu siapa dia dan tak ingin cari tahu juga. Meski sedikit penasaran darimana dia tahu namaku. Padahal aku bukan selebritis bukan pula onlenshop yang seringkali pajang nomor hape di profil medsosnya.

 

Kulanjutkan nyetrika sambil menonton film bollywood kesukaanku. Tak berselang lama, hapeku kembali berbunyi.

 

[Sibuk ya? Maaf kalau mengganggu]

 

Aku hanya membacanya kembali. Tanpa membalas. Kulihat dia masih sibuk mengetik, entah apa yang akan dikatakannya lagi.

 

Kutata setumpuk baju ke dalam lemari plastik di sudut kamar kostku. Gita mengetuk pintu sambil ngoceh nggak jelas.

 

"Ngapain sih berisik amat?" tanyaku saat kulihat Gita di depan pintu sambil menjepit henpon di pundaknya.

 

"Cilok"

 

Dia memberiku sebungkus cilok yang masih hangat. Sepertinya dia baru pulang main. Lalu pamit untuk masuk ke kamarnya.

 

Hari minggu seperti ini memang biasanya kost sepi. Teman-teman kost asyik liburan atau sekedar makan keluar bersama pasangannya masing-masing.

 

Tidak sepertiku. Yang selalu sibuk dengan setumpuk cucian atau setrikaan. Lagipula aku memang kurang suka jalan-jalan. Apalagi aku memang nggak punya pasangan. Tepatnya malas dan nggak mau pacaran. Aku lebih seneng baca novel atau lihat Instagram sambil tiduran di kost setelah urusan pergombalan kelar.

 

Kubuka aplikasi hijau bergambar gagang telfon lagi.

 

[Ohya maaf kalau lancang karena sudah minta nomor henponmu tanpa persetujuanmu dulu]

 

Lagi-lagi chat darinya. Entah siapa. Dia masih online. Sengaja aku baca saja tanpa membalas. Aku ingin dia menjelaskan sendiri siapa dirinya tanpa harus kutanya.

 

Azan dhzuhur menggema. Kuambil wudhu dan menjalankan perintahnya. Kulipat sajadah coklat dan masukkannya kembali ke dalam lemari.

 

Henponku berdering tanda panggilan masuk. Kukira pengirim chat misterius itu, ternyata bukan.

 

Nama Ibu muncul di layar. Segera kupencet tombol yes untuk menerima panggilannya.

 

"Assalamualaikum Lia" salam Ibu dengan nada gemetar.

 

"Kenapa Bu? Ada masalah apa?"

 

"Maafkan Ibu ya Nduk. Kalau Ibu selalu merepotkan Lia"

 

"Kok Ibu ngomong gitu? Ibu nggak pernah merepotkan Lia. Memangnya ada masalah apa Bu?" tanyaku lagi. Kudengar Ibu menghembuskan nafas pelan.

 

"Maaf Nduk, apa Lia masih punya tabungan?"

 

Aku diam sejenak. Aku memang sudah tak memiliki tabungan sedikitpun. Sisa 100ribu untukku sampai akhir bulan. Kadang aku berpuasa Senin-Kamis. Selain berpahala juga untuk mengurangi pengeluaran.

 

"Tabungan yang untuk haji Mbah Kakung itu masih ada to Nduk?" tanya Ibu cepat.

 

Aku ingat, tabungan itu memang masih ada. Aku tak pernah memakainya.

 

Dulu rencananya memang untuk haji Mbah Kakung, namun karena Mbah sudah pergi, aku berencana untuk menyerahkannya ke panti asuhan atas nama Mbah Kakung saja. Supaya  bisa untuk tabungan amal Mbah Kakung  di sana.

 

"Lia... panggilan ibu kembali mengagetkanku.

 

"Masih Bu. Memang mau buat apa?" tanyaku lirih.

 

"Ada berapa Nduk? Ayahmu telat bayar bank 3 kali, kemarin petugasnya datang. Kalau bulan ini nggak sanggup bayar lagi, rumah ini yang jadi jaminannya akan dilelang. Entah itu cuma gertakan atau beneran ibu nggak tahu. Tapi Ibu takut kalau beneran dilelang dan terjual. Ibu dan adikmu mau tinggal di mana?"

 

Kudengar tangis Ibu. Aku tahu kekhawatiran dan ketakutan Ibu saat ini.

 

"Ibu bisa Lia jemput. Kita tinggal di sini bersama Bu..."

 

Dari nada bicaranya Ibu agak kaget mendengar jawabanku. Mungkin tak menyangka aku akan mengatakan itu.

 

"Maksudmu piye Nduk?"

 

"Lia akan menjemput Ibu dan Satria ke sini" jawabku lagi, meyakinkan.

 

Entah keberanian darimana aku bisa mengatakan itu pada Ibu.

 

"Maksudmu, kamu minta ibu untuk pisah sama Ayahmu?" tanya Ibu dengan sedikit gemetar.

 

Aku hanya diam. Tidak membenarkan dan tidak menyalahkan.

 

"Sudahlah Nduk. Jangan ngomongin soal cerai. Ibu takut. Kalau Ayahmu dengar, Ibu pasti sudah dihajar"

 

Aku tak menjawab. Kembali diam dan mendengarkan suara Ibu.

 

"Apa tabunganmu itu masih ada? Kalau masih biar Ayahmu pinjam dulu buat lunasi tunggakan itu. Tiap hari dia marah-marah nggak jelas. Bahkan Satria juga kena omelannya. Ibu tak tega kalau Ayahmu mulai membentak-bentak dia. Satria masih terlalu kecil. Tak tahu beban orangtuanya"

 

Ibu kembali menjelaskan panjang lebar.

 

"Masih Bu. Ada 9,5 juta. Masih di ATM karena Lia juga nggak pernah otak-atik. Rencananya mau Lia serahkan ke panti asuhan, tapi..."

 

"Tapi kenapa Nduk?"

 

"Nunggu genap 10 juta dulu, Bu. Tapi kalau Ibu butuh, Lia transfer ke Ibu saja. InsyaAllah Mbah Kakung juga ridho kalau memang Ibu lebih membutuhkannya"

 

Tangis Ibu kembali pecah. Air matakupun menengalir tiba-tiba. Mengingat Mbah Kakung yang sudah bahagia di sana. Mengingat Ibu dan Satria yang mungkin saat ini menjadi sasaran utama kemarahan Ayah.

 

"Maafin Ibu ya Nduk... Maafin Mirah ya Pak.... "

 

Suara Ibu dengan tangisnya terdengar jelas di telingaku. Tak berselang lama kudengar deru motor Ayah berhenti. Ingin rasanya segera kututup telfon ini, tapi tak tega. Sepertinya Ibu masih ingin meneruskan obrolannya.

 

"Kira-kira Ibu butuh berapa?" tanyaku kemudian.

 

"Siapa Mirah? Lia to?" teriak laki-laki itu. Sebelum mengiyakan, henpon Ibu sudah beralih ke tangannya.

 

"Kamu masih punya tabungan kan Lia? Cepet transfer 6 juta kalau kamu masih ingin Ibu dan Satria tidur nyenyak di rumah ini"

 

Kata-kata Ayah memang pedas. Seolah hanya Ibu dan Satria yang membutuhkan tempat tinggal. Mungkin dia ingin tinggal di lubang semut kalau rumah itu beneran dilelang dan terjual.

 

"Biarin aja dilelang. Lia akan jemput Ibu dan Satria ke sini"

 

Entah keberanian darimana tiba-tiba aku begitu lancar mengucapkannya. Ayah terdengar sangat kaget.

 

"Maksudmu opo heh!? Anak sialan! Dasar nggak tahu diri. Nggak punya rasa terima kasih. Giliran aku bangkrut enak saja kau mau ke jemput Ibu dan adikmu heh!" bentaknya lagi.

 

Kudengar Ayah dan Ibu sedikit ribut.

 

"Sampai kapanpun nggak akan kuceraikan Ibumu! Giliran susah kalian mau angkat kaki dari rumah ini?!"

 

Kudengar dari suaranya Ayah benar-benar murka.

 

"Siapa yang ngajarin anak sialan itu? Pasti kamu to Mirah! Bukannya balas budi sudah dibesarkan malah ngelunjak dia. Begitu kalau keturunan preman. Otaknya nggak pernah dipakai buat mikir!"

 

Sakit hati rasanya laki-laki itu mengungkit asal-usulku lagi. Kesekian kalinya.

 

"Daripada selalu makan hati lebih baik cerai saja Bu...."

 

Tangisku pecah. Kudengar Ayah  mengeluarkan sumpah serapahnya sebelum akhirnya membanting henpon jadul Ibu.

 Selengkapnya di KBM APP

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 8


***


Continue reading

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 7


 PART 7

 

Azan subuh berkumandang. Kukucek kedua mata dari balik kaca mata ungu kesayanganku.

 

Suasana di luar masih sepi dan agak gelap. Supir bus dan sang kondektur masih bercakap-cakap pelan.

 

Dari merekalah aku tahu, saat ini sudah melewati Cikarang. Sebentar lagi akan sampai Bekasi Timur.

 

Aku kost di daerah Kayu Ringin Jaya Bekasi Barat. Tak terlalu jauh dengan Mall Matropolitan. Melewati gerbang tol Bekasi Barat akupun melangkah ke depan, bersiap-siap akan turun. Beberapa penumpang lain melakukan hal yang sama.

 

Kami antri dan turun perlahan. Dengan jalan kaki aku menuju kost. Membutuhkan waktu sekitar 8 menit untuk sampai kost tercinta.

 

Kost dua lantai itu masih sepi. Mungkin sudah ada beberapa teman kostku yang bangun, hanya saja mereka memang sering bermalas-malasan di kamar sebelum berangkat kerja.

 

"Assalamu'alaikuuummm ," salamku pelan saat mulai menaiki tangga lantai dua.

 

Ada jawaban pelan dari atas. Gita tersenyum lebar menyambutku.

 

Gita adalah tetangga kost yang paling ramah padaku. Mungkin karena kami sama-sama berasal dari Jawa Tengah. Dia dari Pemalang, sedangkan aku dari Purwodadi.

 

Teman kost yang lain semuanya berasal dari Jawa Barat. Ada beberapa yang dari Jateng juga tapi berada di kamar bawah.

 

Ohya kost ini ada 10 kamar. 5 kamar di bawah dan 5 kamar di atas. Kamar atas hanya terisi 4 karena 1 kamarnya jadikan gudang.

 

Gita sering curhat padaku soal tunangannya, ayahnya yang sakit stroke dan Ibunya yang harus cari nafkah dengan jualan nasi pecel keliling.

 

"Hai Lia... piye kabarmu? Wah baru kamu tinggal 4 hari aku dah kangen loh" tanyanya sambil cengengesan.

 

"Bawa oleh-oleh nggak?" Dia kembali tersenyum saat ikut masuk ke kamarku.

 

"Bawa. Ini buat Gita tersayang" jawabku kemudian. Bingkisan putih itu berisi keripik tempe dan rengginang.

 

"Opo iki, bukan swike to? Gak doyan aku," tanyanya sambil mengintip plastik putihnya.

 

Swike adalah makanan khas Purwodadi. Yang terkenal di kampungku adalah swike kodok, meskipun banyak juga yang membuat swike ayam, bebek atau menthok.

 

"Kalau kodok aku juga gak maulah Git. Lihatnya juga dah geli" aku menimpali.

 

Kulihat dia asyik ngemil rengginang kesukaannya sambil duduk bersandar di tembok kamar. 

 

"Kabar Ibumu gimana Lia? Sehat to?"

 

"Sehat, Alhamdulillah. Adikku juga sehat. Makin pintar dan cerewet"

 

"Asyiknya punya adik. Sayangnya aku nggak punya. Punya kakak sebiji aja ngeselin luar biasa" ceritanya cepat.

 

"Makanya bikin adik sendiri aja. Jangan kelamaan pacaran. Buruan nikah" godaku lagi.

 

Aku memang sering menggodanya untuk segera menikah. Toh dia pacaran sudah cukup lama,  dari sejak kelas 2 SMA. Gita hanya terkekeh mendengar guyonanku.

 

"Nggak tahu nih. Pacaran apa kredit motor. Lama banget nggak kelar-kelar" jawabnya cepat.

 

Aku memang lumayan akrab dengan Gita. Namun aku tak pernah bercerita soal kehidupan pribadiku padanya. Meski seringkali dia menceritakan hidupnya padaku. Entahlah, aku bingung mau cerita darimana. Yang pasti, teman setiaku masih buku diary berwarna merah jambu itu.

 

*** 

 

Gerimis mengguyur Jakarta Timur saat aku turun dari angkot. Bakda ashar ini aku ke tempat Budhe Lasmi, mengantarkan oleh-oleh sambil silaturahmi. Sudah 7 bulan terakhir aku belum bertemu dengannya.

 

Budhe Lasmi adalah seorang janda yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Pak Hermawan. Dia sudah menganggapku seperti anak sendiri. Maklumlah, Budhe Lasmi memang tidak memiliki keturunan. Setelah ditinggal pergi suaminya 12 tahun lalu, dia tidak menikah lagi sampai saat ini.

 

10 tahun Budhe Lasmi bekerja di rumah bosnya. Dia bilang kedua bosnya sangat baik, sehingga membuatnya betah bekerja di sana. Kedua anak mereka juga sopan-sopan. Tiap bulan selalu dikasih bonus dan sering diajak jalan-jalan ke luar kota untuk cuci mata.

 

"Assalamualaikum Pak Karno" sapaku dari balik pagar saat aku sampai di rumah mewah bertingkat dua itu.

 

Pak Karno, satpam di rumah itu segera membukakan pagar untukku. Dia membuang puntung rokoknya cepat. Kami memang sudah kenal karena beberapa kali aku main ke rumah ini dan beberapa kali juga aku menginap di sini.

 

"Wa'alaikumsalam Mbak Lia. Dah lama nggak ke sini ya mbak. Gimana kabarnya?"

 

Pak Karno tersenyum ramah. Kuberikan bingkisan kecil padanya. Isinya sama dengan bingkisan untuk Gita tadi pagi.

 

Berulang kali Pak Karno mengucapkan terima kasih. Setelah ngobrol sebentar, Pak Karno mengantarku ke kamar Budhe Lasmi.

 

Kulihat Budhe Lasmi masih sibuk di dapur. Mungkin masak untuk makan malam.

 

"Budhe, Lia bantu ya?" sapaku kemudian. Budhe Lasmi tampak kaget, menoleh ke arahku kemudian tersenyum lebar.

 

"Ora usah. Cuma masak cumi sama kerang permintaan Mas Galih. Ada teman-temannya datang. Tapi ini sudah selesai kok" jawab Budhe Lasmi cepat.

 

"Kapan kamu datang, Budhe nggak lihat tadi. Maaf ya" ucapnya lagi. Kulihat Budhe Lasmi mematikan kompornya.

 

"Baru aja kok Budhe. Ini Lia bawa nasi jagungnya. Tapi nggak tahu deh basi apa nggak budhe. Tadi sih udah Lia angetin di kost, coba Budhe cek dulu. Kalau basi ya belum rezeki Budhe berarti"

 

Budhe Lasmi kembali tersenyum, membuka kotak makan yang kubawa.

 

"Masih enak. Budhe makan aja langsung daripada nanti malah basi. Iya to? Ayo makan sama kamu sekalian. Dah lama banget nggak makan begini, kangen kampung" tambahnya lagi.

 

Aku ikut makan beberapa suap dan berhenti saat kudengar suara Kak Galih memanggil nama Budhe.

 

"Budhe lanjut makan dulu. Biar Lia yang ke sana. Mungkin cuma minta tolong bikinin minum atau ambilin sesuatu seperti biasanya, Budhe" cegahku saat Budhe buru-buru menutup kotak makan dariku.

 

Dia mengangguk pelan, masih sibuk mengunyah nasi jagung dan bandeng goreng kesukaannya. 

 

"Maaf Kak Galih. Budhe Lasmi masih makan, bisa Lia bantu?" tanyaku kemudian. Aku hanya melihat sekilas ruang tengah tempat Kak Galih dan 4 orang temannya berkumpul main game.

 

Mereka menoleh ke arahku bersamaan. Mungkin kaget karena yang datang bukan Budhe Lasmi melainkan aku.

 

"Eh Lia. Kapan datang?" tanya Kak Galih kemudian. Dia memang ramah dan sopan pada siapapun. Tak memandang apa status lawan bicaranya.

 

"Barusan Kak. Lia nganter titipan Budhe Lasmi dari kampung." jawabku pelan masih dengan menunduk.

 

Aku terlalu kurang percaya diri, apalagi jika berhadapan dengan banyak laki-laki seperti ini. Ada yang saling bisik-bisik entah apa yang mereka tanyakan pada Kak Galih.

 

"Bisa Lia bantu Kak?" tanyaku lagi. Ingin rasanya segera pergi dari tempat itu.

 

"Ohya, tolong bikinin minuman buat mereka ya Lia. Sekalian cumi sama kerangnya tolong siapin di meja makan. Maaf ya Lia, merepotkan" lanjutnya sambil tersenyum kecil.

 

"Nggak apa Kak. Santai aja. Nggak merepotkan kok. Permisi ya"

 

Aku mundur beberapa langkah dan berbalik cepat menuju dapur.

 

Lega sekali rasanya bisa kabur dari sana. Masih sibuk menata gelas di atas nampan, kudengar langkah kaki menuju dapur.

 

Sosok laki-laki itu tersenyum kecil menatapku saat aku menoleh ke arahnya. Aku tak tahu siapa dia. Seingatku, baru kali ini kulihat dia main ke rumah Kak Galih. Aku memang tak terlalu memperhatikan teman-teman Kak Galih tiap kali mereka datang. 

 

"Hai kenalkan aku Awan" ucapnya pelan kemudian tersenyum sambil menakupkan kedua telapak tangannya ke dada. Aku melakukan hal yang sama sembari menyebut nama.

 

"Aku bantu ya?" pintanya cepat saat aku mulai menuangkan minuman ke gelas.

 

"Nggak usah Kak. Biar Lia saja" jawabku cepat. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.

 

Dengan cekatan membawa nampan berisi lima gelas yang sudah terisi orange jus itu ke ruang tengah.

 

Terdengar sorak-sorai dari teman-temannya. Entah mengapa seheboh itu. Apa hanya dengan membantu membawakan nampan adalah prestasi luar biasa bagi mereka?

 

Entahlah... 

 

 Selengkapnya di KBM APP

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 7

***

Continue reading

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 6


 PART 6

Aku pamit ke Ibu dan Satria untuk kembali bekerja ke Jakarta. Ibu memelukku hangat seolah tak ingin kulepaskan. Dengan cerewetnya Satria pesan oleh-oleh jajanan kesukaannya saat aku mudik lagi nanti, entah kapan.

Kudengar suara motor berhenti di depan rumah. Mungkin Pakdhe Min sudah datang. Dia yang biasa mengantarku sampai pangkalan bus. Jarak antara rumahku dengan pangkalan bus lumayan jauh. Sekitar 45 menit.

"Mas Adit?"

Agak kaget saat kulihat Mas Adit sudah ada di ruang tamu bersama Ayah. Mereka serempak menoleh ke arahku.

"Nak Adit mau mengantarmu ke pangkalan bus, Lia" kata Ayah sedikit ramah.

Dia memang begitu, selalu cari muka di depan Mas Adit ataupun keluarganya. Berpura-pura baik dan perhatian padaku. Ada udang di balik batu. Padahal semua orang juga tahu, bagaimana sikapnya selama ini padaku.

"Tapi Yah. Lia biasa minta tolong Pakdhe Min. Tadi Lia juga sudah ke rumahnya, dia bilang bisa antar Lia"

"Mulai sekarang biar Nak Adit yang antar kamu. Dia kan calon suamimu. Gimana sih kamu?"

Aku mematung. Berulang kali kuulang kalimat Ayah. Berulang kali pula hatiku dag dig dug tak karuan.
Sekilas kulihat Mas Adit tersenyum menatapku.

"Tapi Yah....

"Sudah jangan banyak alasan. Dulu kamu bilang ingin kerja. Ayah sudah kasih kamu waktu 4 tahun buat kerja. Mau berapa tahun lagi kamu menunda-nunda pernikahan itu he?"

"Lia kan masih pengen kuliah Yah...

"Buat apa? Toh sudah ada laki-laki mapan yang siap melamar kamu kapan saja. Ngapain capek-capek kuliah kalau ujung-ujungnya di dapur juga?"

Ayah masih menekan emosinya. Aku yakin jika tidak ada Mas Adit di sini, mungkin aku sudah ditamparnya.

"Dia sudah sabar menunggu kamu loh Lia. Jangan ngelunjak kamu. Jangan sok...

Belum selesai bicara, Mas Adit memotong kalimat Ayah. Sembari berulangkali minta maaf.

"Maaf Pakdhe... Maaf ini ya, saya akan menunggu Lia sampai dia siap Pakdhe. Jangan sampai dia nikah sama saya karena terpaksa. Nanti malah ambyar. Kalau Lia mau kuliah dulu nggak apa-apa. Saya yang biayai kuliahnya juga nggak masalah. Berapa tahun Lia? Mau S1 apa D3 aja?"

Mas Adit kembali tersenyum. Aku menoleh sekilas. Dia memang begitu, selalu banyak cara untuk meluluhkanku. Tapi aku masih tetap tak ada rasa sedikitpun padanya.

Aku masih tetap nggak suka dengan sikap-sikapnya yang sering gonta-ganti pacar, sering minum-minuman keras dan jarang sholat. Bahkan saat orang-orang sholat Jumat saja, dia malah asyik main gitar di pos ronda. Begitu cerita dari para tetangga padaku tiap aku pulang kampung. Dia belum juga berubah. Sedari dulu.

"Lia! Panggilan Ayah membuyarkan lamunanku.

"Kebiasaan kalau diajak bicara malah melamun."

"Maaf Yah...

"Minta maaf sama Nak Adit bukan sama Ayah. Dia kan yang ngajak ngobrol kamu, malah kamu cuekin"

"Maaf Mas Adit... tapi Lia mau kuliah dengan biaya sendiri. Nggak pengen merepotkan orang lain" kataku pelan.

"Nggak apa-apa aku ikhlas kok buat biayain kamu kuliah. Gimana D3 aja ya biar cepet lulusnya?" Dia kembali tersenyum. Senyum yang membuatku semakin takut.

"Nanti kalau jadi kuliah nggak usah nunggu lulus, nikah duluan juga nggak apa-apa Nak Adit. Lagian Nak Adit juga sudah punya penghasilan, sudah mapan ngapain lama-lama. Iya to?"

Mas Adit manggut-manggut. Aku kembali menunduk.

"Saya sih kapan saja siap Pakdhe" jawabnya cepat. Membuat hatiku makin tak karuan.

"Yasudah berangkat sana. Inget nggak usah ganjen sama laki-laki lain, kamu sudah punya calon"

Ayah kembali mengingatkanku. Tanpa pernah mau mendengar alasan penolakanku.

Dia memang tak pernah mau tahu apa yang aku rasakan. Yang paling penting baginya, aku harus menuruti apapun perintahnya. Meski itu sangat bertolak belakang dengan yang kurasa. 

Kali ini, terpaksa aku mengiyakan permintaan Mas Adit untuk mengantarku ke pangkalan bus. Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Kudengarkan saja ceritanya tentang usahanya sekarang, omsetnya dan tabungannya untuk membangun rumah impian.

Aku hanya menjawab sepatah dua patah kata saat dia bertanya. Aku tahu dia sengaja menceritakan semuanya mungkin agar aku tertarik padanya. Padahal aku tak sematre itu. Aku tak memandang seberapa banyak harta atau sesukses apa dia untuk membuatku jatuh cinta. Aku hanya menuruti kata hatiku sendiri. Karena cinta tak bisa dipaksa untuk jatuh ke hati yang mana.

Dia berhenti di warung bakso depan pangkalan bus.

"Kita makan dulu ya Lia. Busnya juga belum datang tuh."

"Lia sudah makan Mas" jawabku cepat.

"Yasudah minum aja kalau nggak mau makan. Temani aku makan ya? Aku juga pengenlah makan berdua sama kamu. Belum pernah sekalipun to, Lia. Kamu emang susah kalau diajak jalan meski cuma sekedar makan"

Inginku menolak tapi tak enak hati karena dia sudah capek-capek mengantarku sampai pangkalan bus. Terpaksa aku mengiyakannya. Memilih kursi paling ujung untuk duduk. Warung ini lumayan sepi tak seperti biasanya yang selalu ramai pengunjung.

"Jus jambu 1 ya Mbak. Bakso sama es jeruknya 1"

Aku menoleh sekilas. Entah siapa yang memberitahunya, kalau jus jambu adalah minuman favoritku.

"Aku tahu kok kamu suka jus jambu" ucapnya lagi sembari menarik kursi di sebelahku. Aku agak bergeser sedikit tak ingin terlalu dekat.

"Aku bukan orang jahat Lia. Ya mungkin memang aku sering gonta-ganti pacar. Tapi percaya deh, sebrengsek-brengseknya laki-laki pasti menginginkan istri yang baik dan sholehah. Lagian aku pacaran nggak pernah lama, cuma iseng aja itu. Sembari nunggu kamu."

Dia kembali bercerita tanpa kutanya.

"Makanya jangan lama-lama ya. Karena hati laki-laki dan perempuan itu sangat berbeda"

Dia menoleh sekilas ke arahku. Mencoba meyakinkanku akan ucapannya.

"Mas Adit tahu kan kalau Lia tidak bisa mencintai Mas Adit?"

"Bukan tidak bisa tapi belum bisa dan butuh waktu" jawabnya sok tahu.

Dasar keras kepala, batinku kesal.

"Nanti kalau sudah menikah juga bisa jatuh cinta. Contohnya Ayah Bundaku. Dulu juga dijodohkan, sampai sekarang mereka akur, saling cinta dan bahagia."

Lagi-lagi dia menoleh ke arahku cepat.

"Foto ya..."

Belum sempat kutolak dia sudah main jepret beberapa kali.

"Buat kenang-kenangan sama senjata kalau nanti kangen tiba-tiba. Tenang aja, nggak bakal aku pelet kok"

Dia terkekeh sambil memasukkan henpon ke saku jaketnya.

Bakso dan minuman sudah datang. Dia berulang kali bertanya padaku apakah mau pesen bakso juga atau tidak. Sampai bosan aku menjawabnya.  

"Ini buatmu ya. Aku tahu tabunganmu sudah habis diminta Ayahmu tempo hari. Ya kan?"

Mas Adit memberiku amplop putih. Aku menoleh cepat, tak paham apa maksudnya. Dia lagi-lagi tersenyum.

"Lia masih punya pegangan sendiri Mas." jawabku singkat. Kutolak amplop putih yang dia tawarkan.

"Ikhlas kok aku. Nih..

Lagi-lagi Dia menyodorkan amplopnya.

"Maaf Mas. Lia masih punya pegangan sendiri. Baiknya uang itu ditabung saja" jawabku meyakinkannya.

"Terima kasih ya sudah diantar ke sini. Lia mau masuk bus dulu ya, itu sudah datang busnya."

Beruntung sekali bus yang ditunggu-tunggu sudah datang. Dia menoleh cepat ke arah pangkalan bus.

"Okelah. Ini buat tabungan saat kita nikah nanti" ucapnya pelan.

Entah mengapa dia bisa seyakin itu. Padahal berulang kali aku bilang tidak mencintainya dan masih banyak mimpi yang ingin aku wujudkan. Tapi berulang kali juga Dia bilang akan menungguku.

"Lia... Dia memanggilku saat aku beranjak dari tempat duduk. 

"Sebenernya aku nggak rela kalau kamu selalu dimaki Ayahmu. Tapi aku tak bisa berbuat banyak, kecuali kalau kita sudah nikah, pasti aku akan selalu membelamu. Tak akan kubiarkan siapapun menyakitimu," ucapnya meyakinkan. 

Aku berhenti sejenak. Menoleh ke arahnya. Entah apa yang merasukinya bisa jatuh cinta padaku, dia yang cukup tampan, berasal dari keluarga baik-baik, kecukupan dari segi apapun sedangkan aku yang entahlah...

"Lia...

Kutepis telapak tangannya saat ingin memegang tanganku. Aku selalu berusaha untuk tidak bersentuhan dengan non mahrom kecuali tak disengaja.

"Ohiya maaf. Aku lupa kalau kamu memang berbeda" gumamnya.

Aku kembali duduk. Menjelaskan padanya apa yang kurasa, supaya dia bisa ambil sikap. Berhenti dari sekarang atau justru hanya menyia-nyiakan waktu jika menungguku.

"Lia belum siap menikah Mas. Dengan siapapun itu. Kalau Mas Adit sudah siap menikah, bisa cari perempuan lain ya" ucapku pelan tak ingin didengar orang lain.

"Percayalah, aku masih setia menunggumu. Tapi kalau bisa jangan lama-lama gitu maksudku, Lia." Ucapnya lagi. Kembali mencoba untuk meyakinkanku.

"Tapi Lia nggak janji Mas. Lia nggak janji mau nikah sama Mas Adit. Daripada nanti waktu Mas Adit terbuang percuma hanya menunggu Lia. Bukankah lebihbaik Mas Adit mencari wanita lain yang lebih baik daripada Lia? Banyak kok di luar sana. Lagian Mas Adit kan tinggal tunjuk siapa yang Mas Adit mau ya kan?"

"Nyatanya aku nunjuk kamu, kamunya nggak mau. Perempuan memang banyak Lia. Yang cantik-cantik juga banyak. Tapi selama ini, baru kamu yang paling baik di mataku. Kamu berbeda."

Dia menatapku tajam, membuatku salah tingkah. Aku hanya menghembuskan napas cepat. Pamit padanya dan masuk ke dalam bus tanpa menoleh ke arahnya lagi.

 Selengkapnya di KBM APP

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 6


***

Continue reading

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 5

 

PART 5

 

Hari ini adalah hari terakhirku di kampung. Aku sudah memesan tiket bus, rencana bakda dzhuhur akan berangkat. Meski duka itu masih begitu terasa, namun aku harus kuat. Aku harus bisa membuka lembaran baru tanpa Mbah Kakung di hidupku.

 

Kulihat Mbak Sari masih sibuk dengan ponselnya saat aku menyapu halaman. Begitu asyik sampai tak mendengar panggilan Ibu.

 

“Maaf Mbak. Mbak Sari dipanggil Ibu,” ucapku sembari menoleh ke arahnya.

 

Dia hanya mendongak sekilas, kembali melanjutkan aktifitasnya. Tanpa sedikitpun bergeser dari tempatnya semula.

 

Ibu berjalan ke arahku sambil menggendong Rio.

 

“Adikmu demam Lia. Tolong panggilin si Bayu atau Sapto ya, bilang saja Ibu minta tolong anterin ke puskesmas.”

 

Kupegang kening Rio dengan punggung tangan. Rio memang demam, pantas saja agak rewel sedari pagi.

 

“Nggak minta tolong Mbak Sari saja Bu? Sepertinya dia nggak terlalu sibuk,” jawabku pelan.

 

Kami menoleh ke arah Mbak Sari yang masih asyik dengan ponselnya. Tanpa melirik ke arah kami sedikitpun.

 

“Mana mau dia. Tadi Ibu panggil saja tak menjawab apalagi disuruh nganter ke puskesmas. Yang ada nanti ngomel-ngomel, ngadu ke Ayahmu macam-macam. Panggil Bayu atau Sapto saja, nanti biar Ibu kasih sangu buat beli bensin. Ibu tak siap-siap dulu."

 

Aku menghembuskan napas pelan. Kuletakkan sapu di samping pohon bambu yang rimbun. Segera ke rumah Bayu yang tak begitu jauh dari rumahku.

 

Ibu dan aku memang tak bisa naik motor. Dulu saat masih sekolah, seringkali aku minta ijin untuk belajar naik motor namun Ayah selalu melarang dengan berbagai alasan. Takut rusaklah. Takut nabraklah. Takut lecetlah. Belum waktunyalah. Hingga sampai detik ini, aku tak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang pengemudi.

 

Apapun yang kuinginkan, sepertinya Ayah memang kurang berkenan. Banyak aturan yang harus aku patuhi. Tak boleh dilanggar. Tak boleh banyak pertanyaan. Sangat berbeda dengan Mbak Sari. Apapun permintaan Mbak Sari, Ayah selalu berusaha memenuhi. Meski terkadang, permintaan-permintaan Mbak Sari tak wajar untuk usianya yang dulu masih duduk di bangku sekolah.

 

Mbak Sari juga dibiarkan bebas belajar naik sepeda motor sejak kami sama-sama kelas dua Sekolah Menengah Atas.

 

Seringkali dia pergi ke rumah teman sekelasnya untuk sekedar rujak-an, membeli boneka kesayangan atau foto-foto bersama untuk kenang-kenangan.

 

Dia benar-benar beruntung. Bisa menikmati masa sekolahnya dengan wajar. Seperti anak-anak lainnya. Pergi dan pulang sekolah dengan ceria.Saling traktir di warung Bakso Pak Slamet atau saling tukar kado saat ada yang ulang tahun.

 

Sedangkan aku?

 

Aku tak bisa sebebas itu menikmati masa-masa sekolahku. Terlalu sibuk dengan dunia baru yang mungkin belum sewajarnya aku genggam.

 

Di saat anak-anak seusiaku sekolah dengan riang gembira tanpa beban. Di saat mereka bangun pagi dengan alarm suara Ibu yang tak berkesudahan hanya untuk menyuruh mandi dan sarapan yang sudah terhidang di meja makan, di saat mereka mengenakan tas, sepatu dan wajah ceria tiap kali memasuki kelas, di saat mereka berhamburan keluar kelas dengan hati riang saat mendengar bel pulang, menikmati masa-masa sekolah yang begitu membahagiakan. Di saat itu pula aku hanya bisa berkhayal dan membayangkan hal yang sama. Yang pada akhirnya aku sadar, semua mustahil untuk kudapatkan.

 

Seringkali aku merasa iri. Terkadang mengasihani diri sendiri. Menangis di sudut kamar sendirian. Menuliskan luka dan air mata ini dalam buku diary yang usang.

 

Aku sudah terbiasa bangun sebelum adzan subuh berkumandang. Terbiasa, meski awalnya begitu terpaksa. Menyapu rumah megah itu kemudian mengepel lantainya sebelum penghuni rumah terjaga. Mencuci pakainnya dan membantunya memasak.

 

Sebelum berangkat sekolah, aku harus sudah membuka toko perabot, menata display yang berantakan ataupun membersihkan barang-barang dagangan agar tak berdebu.

 

Kalaupun aku telat bangun, seringkali aku juga telat datang ke sekolah. Aku harus lari-lari tiap berangkat sekolah hanya tak ingin pintu gerbang tertutup sebelum aku memasukinya.

 

Lelah? Pasti. Kadang aku juga tertidur di dalam kelas saat jam istirahat. Rasanya capek sekali. Akupun hanya bisa menangis dalam diam saat tak sengaja kudengar teman-teman menceritakan keseruan mereka jalan-jalan minggu kemarin. Ataupun saat mereka menghadiri acara ulangtahun salah satu diantara mereka.

 

Saat itu, aku lebih sering pura-pura tidur. Meski sejatinya aku mendengar jelas apapun yang mereka ceritakan. Termasuk saat mereka tiba-tiba membicarakan aku dengan suara perlahan.

 

Siapa yang tak ingin seperti mereka? Menikmati masa-masa sekolah dengan dekapan orangtua dan hati riang gembira. Siapa yang tak ingin seerti mereka? Penuh canda tawa tanpa beban dan air mata. Siapa yang tak ingin seperti mereka? Yang sering jalan-jalan bersama saat hari libur atau makan di warung bakso bersama saat pulang sekolah.

 

Aku juga ingin. Tapi tak pernah bisa. Waktuku tak sebebas itu. Aku seringkali menolak ajakan teman-temanku untuk sekedar jalan-jalan ke pasar atau ke toko buku saat hari libur tiba. Aku seringkali menolak ajakan teman-teman saat ada acara kumpul-kumpul ataupun perayaan ulang tahun. Aku seringkali menolak saat ditagih teman untuk merayakan ulang tahunku dengan mentraktir mereka di warung bakso atau mie ayam sepulang sekolah.

 

Bagaimana mungkin aku bisa? Selain aku tak ingin telat pulang, uang sakukupun terlalu minim untuk hal-hal semacam itu. Aku harus menabung untuk bayar SPP ataupun bayar buku-buku sekolah.

Aku harus menghemat. Bahkan aku jarang sekali ke kantin. Aku selalu membawa bekal dari rumah. Hingga akhirnya mereka tak pernah lagi mengajakku. Mereka tak pernah lagi menawariku apapun itu.

 

Mereka seolah membiarkanku sendiri. Meski sudah kujelaskan berulangkali bagaimana posisiku, seolah mereka tak menerima penjelasan itu. Hanya tersenyum kecut, saling pandang satu sama lain dan mengangguk serempak. Pura-pura memaklumi, padahal tidak sama sekali.

 

Sebenarnya aku takut jika tak memiliki teman. Aku takut dikucilkan. Namun apa daya, aku tak mampu seperti mereka. Hingga akhirnya aku pasrah jika mereka tak mau berteman denganku lagi.

 

Kisah sekolah menengah pertama dan menengah atasku hampir sama. Dibiarkan sendirian dengan segala rutinitasku yang mungkin tak seperti teman-teman kebanyakan. Hingga akhirnya aku memang dikucilkan. Seringkali tak memiliki keberanian apapun saat ada yang sengaja mengejekku. Aku hanya menangis dalam diam. sendirian.

 

Meski aku satu sekolah dengan Mbak Sari. Namun dia tak pernah mau mengajakku ngobrol. Dia tak peduli. Bahkan saat beberapa teman sengaja membully. Dia bilang tak mau ikut campur urusanku apapun itu.

 

Saat jam istirahatpun teman-teman tak lagi mengajakku ke kantin. Karena memang tiap hari aku membawa bekal. Jika ada jam kosong, seringkali kuhabiskan waktuku di perpus untuk membaca buku.

Awalnya aku ingin sekali berontak, namun lagi-lagi aku tak memiliki kekuatan untuk melakukan itu. Hingga akhirnya aku sudah sangat terbiasa sendiri. Sudah terbiasa tak memiliki teman untuk sekedar berbagi. Sudah terbiasa mengobrol dan bercerita dengan buku diary.

 

Kuseka bulir-bulir kecil yang menetes dari kedua sudut mataku. Sudah 4 tahun lalu sejak aku lulus sekolah menengah atas, namun kenangan pahit itu tak pernah mampu kutanggalkan. Masih begitu melekat di hati. Sesak itu. Sakit hati itu. Luka itu. Belum juga terobati hingga detik ini.

 

“Assalamu’alaikum Budhe Nur… maaf mengganggu. Dek Bayunya ada budhe?” tanyaku sembari tersenyum saat kulihat Budhe Nur sibuk menjemur pakaian di samping rumahnya.

 

“Eh Nak Lia. Ada. Masih nonton tivi sepertinya. Budhe panggilkan dulu ya”

 

Aku hanya mengangguk kecil saat Budhe Nur pamit masuk ke dalam rumah. Tak berselang lama kulihat Bayu menghampiriku.

 

“Kenapa Mbak Lia?”

 

“Itu hlo Yu, Ibu minta tolong Bayu buat anterin ke puskesmas soalnya Rio demam." jawabku meyakinkan.

 

Bayu mengangguk cepat, kemudian mengambil kunci motornya dari dalam rumah.

 

“Ayo Mbak. Bareng sekalian. Masa jalan kaki.” Rio menawarkan dengan senyum lesung pipitnya.

 

“Ga usahlah Yu. Mbak Lia jalan kaki saja. Deket ini. Itung-itung olahraga pagi.”Jawabku kemudian.

 

“Waduh takut Mas Adit cemburu ya mbak?” guraunya lagi. Aku hanya tersenyum kecil menjawab keisengannya.

Sampai rumah, kulihat Ibu sudah siap. Mereka pamit untuk berangkat ke puskesmas. Aku kembali mengambil sapu, melanjutkan tugas yang belum selesai kukerjakan.

Dan Mbak Sari masih tetap di sana. Tak beranjak dari tempatnya semula. Entah apa yang dia kerjakan dengan gadgetnya.

“Lia.. bikinin mi rebus pakai telur dong. Laper aku iki,” perintahnya saat aku masuk ke dalam rumah.

“Lia mau mandi Mbak. Mau siap-siap juga nanti abis dzuhur mau berangkat ke pangkalan bis.”

“Halah kamu ini hlo disuruh bikinin mi paling nggak sampai 10 menit wae kok nggak mau.”

“Bukannya nggak mau Mbak. Hla Mbak Sari sendiri ngapain itu? Nggak sibuk to?”

“Apa kamu nggak lihat? Aku lagi vidcall ini sama temen kuliahku.”

“Masak sendiri ya Mbak. Vidcallnya lanjut nanti. Lia mau siap-siap dulu sebentar lagi azan.”

“Halah wong lagi seru-serunya kok disuruh matiin to Lia…

Kutinggalkan dia dengan segala ocehannya. Aku segera mengambil handuk dan menyalakan kran kamar mandi, supaya tak mendengar omelannya lagi.

Selesai mandi segera kubereskan tas hitamku. Ibu menitipkan nasi jagung goreng untuk Budhe Lasmi. Sesuai pesenannya kemarin siang.

 

“Kira-kira besok basi nggak ya Nduk nasi jagungnya?” tanya Ibu saat melihatku memasukkan nasi jagung goreng ke dalam kotak makanan.

“Semoga saja nggak basi Bu. Kalau basi yoweslah yang penting Lia sudah berusaha bawain pesenan Budhe.” Ibu mengangguk pelan.

Suara deru motor Ayah berhenti di depan rumah. Entah mengapa tiap kali akan bertemu dengannya, tiap itu juga jantungku berdegup kencang. Ibu ke luar untuk menyambutnya.

“Lia mana?” tanya laki-laki itu cepat.

“Lia ada di dapur Mas. Kenapa?” Ada nada khawatir dari pertanyaan Ibu.

“Lia! Aku menoleh cepat. Mata itu kembali menatapku tajam.

“Kamu ini kenapa to bikin masalah aja. Nggak kapok-kapoknya!"

“Maksudnya apa to Yah?”

“Halah pura-pura nggak tahu wae. Kamu sengaja numpahin air putih ke laptopnya Sari iya to?”

Mataku terbelalak tiba-tiba. Hatiku makin dag-dig-dug tak karuan.

“Maksud Ayah?”

“Masih ngelak juga. Sudah nggak mau dimintai tolong masakin mi rebus malah sengaja numpahin air putih di laptop. Maumu itu apa to Lia, heh?”

Aku kembali menunduk. Bola mataku kembali berkaca-kaca.

“Dari dulu kamu ini memang nggak suka kalau Sari kuliah to? Kamu masih nggak terima, iya? Iri kamu Lia?!”

Aku masih menunduk tanpa menjawab sepatah katapun. Ibu menarik pelan lengan kiriku.

“Mirah! Aku masih bicara sama Lia. Biar dia jadi anak tahu diri. Nggak ngelunjak!”

"Ayo jawab Lia! jangan diem aja kayak patung! Kamu iri iya to. Nggak pengen lihat Sari sarjana!”

“Lia seneng kok Yah, Mbak Sari sudah mau wisuda. Sudah mau jadi sarjana. Meski dulu Lia sempet pengen kuliah juga tapi Lia ikhlas mengalah demi Mbak Sari. Lia nggak apa-apa kerja buat bantu Ayah nguliahin Mbak Sari. Tapi kalau Lia difitnah ngerusakin laptop Mbak Sari, Lia nggak mau. Karena emang Lia nggak pernah ngelakuin itu”

Tiba-tiba tangan kekar itu menekan kedua pipiku kuat-kuat. Aku sampai melonjak kaget.

“Ngomong apa kamu, heh. Kamu mau bilang kalau Sari tukang bohong. Iya? Bilang saja kalau kamu memang iri. Kamu nggak pengen lihat Sari kerjanya lebih enak daripada kamu. Iya to! Makin hari kerjaanmu bikin masalah terus. Bikin tambah pusing kepalaku saja.”

“Kamu ini kenapa sih Mas? Selalu menyalahkan Lia. Apapun yang dia kerjakan selalu nggak bener di matamu. Kalau Lia bilang begitu, berarti ya memang dia nggak salah. Kalaupun air itu tumpah, mungkin dia nggak sengaja.”

Ibu ikut membelaku. Kulihat Mbak Sari berjalan santai ke arah kami.

“Belain aja terus. Emang anak kandungnya ya dibelainlah. Aku ini apa. Cuma anak tiri, ya to Yah. Selalu nggak bener di matanya. Pantes aja banyak orang bilang ibu tiri itu kejam. Kelihatannya aja baik, padahal hati sama lidahnya pedes juga.”

Aku dan Ibu hanya saling pandang. sama-sama istiqfar pelan. Oh Tuhan... kapan semua ini berakhir? Kalau bukan karena Ibu, rasanya aku malas sekali pulang kampung.

*****

*Ini fiksi campur true story ya, terinspirasi dari kisah seseorang. Semoga bisa diambil pelajaran darinya. 


Selengkapnya di KBM APP

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 5



Continue reading

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 4

 

PART 4

 

Henponku kembali bergetar. Sengaja tak kuangkat. Aku takut laki-laki itu kembali menghujaniku dengan kata-katanya yang kotor. Semakin kudiamkan, semakin lama henponku berdering. Nama Budhe Lasmi muncul di layar. Syukurlah..

 

“Assalamu’alaikum Budhe,” ucapku pelan sembari menjinjing tas hitamku. Berisi beberapa bungkus oleh-oleh dan beberapa stel pakaian.

 

Aku tak bisa berlama-lama di kampung karena aku hanya mengambil cuti 4 hari untuk menghadiri pemakaman Mbah Kakung ini.

 

“Wa’alaikumsalam Lia. Sudah sampai kampung belum?” Ada nada khawatir dari suara Budhe Lasmi.

 

“Alhamdulillah Budhe. Ini sudah mau naik ojeg,” jawabku pelan.

 

Desaku memang cukup jauh dari kota. Jadi harus pakai ojeg atau dijemput dulu untuk sampai rumah. Tak ada angkot ataupun bis yang masuk ke desaku. Hampir semua sarana menggunakan ojeg motor.

 

“Alhamdulillah… Budhe khawatir soale. Tadi lihat berita itu hlo, ada kecelakaan di Gubug. Makane Budhe cepet-cepet telpon kamu.”

 

“Oh nggeh Budhe, alhamdulillah Lia baik-baik saja.”

 

“Yowes kalau gitu, seng sabar yo Lia. Mbah Kakung sudah tenang di sisiNya. Semangat. Misal ono opo-opo, ceritao sama Budhe. Wes anggep wae Budhe ini ibu keduamu,” nasehat Budhe Lasmi lagi.

 

Entah sudah berapa kali Budhe Lasmi menasehatiku dengan kalimat yang hampir sama. Mungkin karena Budhe Lasmi takut aku depresi kehilangan Mbah Kakung.

 

“Nggeh Budhe. InsyaAllah. Matur nuwun sanget hlo Budhe.”

 

“Wes buruan ngojeg. Nanti bapakmu tambah ngomel-ngomel kalau telat pulange. Salam kanggo Ibumu yo.”

 

Budhe Lasmi mengucap salam dan mematikan sambungan telfon kami. Akupun segera naik ojeg yang sudah parkir di pangkalan.

 

Butuh 30an menit untuk sampai rumah. Memasuki desaku hati ini mulai tak tenang. Ada rasa kangen, rasa takut dan rasa pilu yang menjalar pelan di sana.

 

Entah mengapa air mataku kembali menetes. Aku memang tipe orang yang mudah sekali menitikkan air mata. Cengeng, memang.

 

Kulihat di halaman rumah sudah banyak bapak-bapak yang datang. Mereka serempak menoleh ke arahku ketika aku berhenti di tepi jalan dan membayar ojeg. Beberapa di antara mereka tersenyum ramah saat tak sengaja berpapasan denganku.

 

Jantungku bergedup lebih kencang saat tak sengaja mataku berpapasan dengan mata tajam itu. Tak ada senyum di sana. Aku berjalan menunduk sampai pintu rumah. Mengucapkan salam dan bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih.

 

Banyak ibu-ibu yang datang membacakan surah Yasiin untuk Mbah kakung. Ibu memelukku hangat. Menyeka bulir-bulir kecil yang keluar begitu saja dari kedua sudut mataku.

 

Rasanya aku tak kuat melihat Mbah Kakungku memakai kain kafan detik ini. Semua terasa seperti mimpi. Untuk terakhir kalinya kutatap lekat-lekat wajahnya yang mengeriput. Ada senyum di sana. Aku selalu berharap dan berdoa, semoga Mbah Kakung mendapatkan tempat terindah di sisiNya.

 

“Seng ikhlas ya Nduk. Mbah Kakung sudah tenang di sisi Gusti Allah. Semua sudah siap diberangkatkan, tinggal nunggu kamu datang saja,” Budhe Nur menepuk-nepuk bahuku pelan. Aku hanya mengangguk. Tak mampu kuucapkan sepatah katapun.

 

Air mataku terus menetes. Tak berselang lama bapak-bapak memasukkan Mbah Kakung ke keranda dan membawanya ke pemakaman. Inilah detik-detik terakhirku melihat Mbah Kakung. Kakiku lemas. Tubuhku roboh seketika. Aku tak ingat lagi kejadian setelah itu.

 

Mataku terbuka perlahan. Kulihat Ibu masih sesenggukan di sampingku. Adik laki-lakiku hanya diam menatapku sembari memainkan permen tusuk di mulutnya. Dan laki-laki itu masih mematung di sudut kamar.

 

“Ikhlas ya Nduk… biar Mbah Kakung tenang di sana. Kita buka lembaran baru. InsyaAllah kelak kita kumpul sama Mbah Kakung di SurgaNya,” Ibu kembali menyeka air mataku yang terus meleleh.

 

Aku tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Entah mengapa seolah sebagian hatiku hilang. Mimpi-mimpiku yang dulu sering kuceritakan padanya seakan berjatuhan satu-persatu.

 

Aku selalu bilang,”Suatu saat Lia akan sukses Kung. Nanti Lia ajak Mbah Kakung Ke Baitullah. Melihat Ka’bah dari jarak dekat. Bersujud di Masjidil HaramNya. Seperti impian Mbah Kakung selama ini”

 

Mbah Kakung tersenyum bahagia. Mengelus kepalaku perlahan dan mendoakanku banyak sekali kebaikan. Aku belum bisa mewujudkan impian Mbah kakung namun ternyata Allah sudah lebih rindu padanya.

 

Bukannya aku ingkar atas semua janjiku. Namun aku sudah berusaha menabung untuk haji Mbah Kakung. Kusisihkan gajiku 200 ribu tiap bulan. Kuhemat sedemikian rupa agar gajiku yang 3 juta itu cukup.

 

Banyak sekali kebutuhan yang harus aku pikul dan aku prioritaskan. Akupun hanya mengambil jatah 800ribu tiap bulan untuk membayar kost, makan dan tabungan Mbah kakung. Kalau tak cukup, seringkali aku berpuasa. Berbuka dan sahur seadanya. Karena sisa gaji yang lain selalu kukirim untuk Ibu.

 

Ibu bilang sebagian besar untuk kuliah Mbah Sari dan untuk bayar cicilan Ayah di bank. Ayah sering sekali marah-marah saat menelfonku. Menganggapku anak durhaka karena menyembunyikan sebagian gajiku. Padahal tak pernah sedikitpun kusimpan uang itu untuk kebutuhan pribadiku.

 

Aku jarang sekali membeli baju atau tas baru. Tidak seperti teman-temanku yang selalu belanja ini itu saat gajian tiba.

 

“Mana gajimu bulan ini?” pertanyaan ayah membuyarkan lamunanku. Aku yang masih mencoba menerima kenyataan bahwa Mbah Kakung memang sudah pergi.

 

“Lia belum gajian Yah. Kan baru tanggal 24, Lia gajian tanggal 30,” ucapku berusaha meyakinkan.

 

“Halah alasan saja kamu. Trus ngapain kamu pulang kalau gak bawa duit, hah?”

 

“Lia… belum sempat kujawab, laki-laki itu kembali mengeluarkan kata-katanya yang menyakitkan.

 

“Yang paling penting itu duit. Kamu pulang atau nggak tak jadi soal. Kalau gak punya duit, mending ongkos bismu ditransfer pulang.” Ibu membelai pelan punggung tanganku.

 

“Lia harus pulang to mas, masak Mbahnya meninggal dia nggak pulang?” Ibu berusaha membelaku.

 

Baru kali ini kulihat Ibu sedikit ketus menjawab omelan Ayah. Biasanya dia selalu sabar, mengalah dan diam. Tak pernah memberontak ataupun mengeluarkan sepatah dua patah kata sebagai pembelaan.

 

“Halaaah, ngapain pulang kalau nggak bawa duit. Emang biaya pemakaman Mbah Kakungmu bisa dibayar pakai daun jati?”

 

“Kalau Lia nggak ada duit ya kita pakai duit dari toko dulu kan bisa Mas. Lagian tadi juga ada yang bayar hutang, itu bisa dipakai dulu buat biaya Mbah kakung. Orang sudah pergi dan tenang di sana kok masih diributin terus.” jawab Ibu panjang lebar.

 

Plakkkkk

 

Tak kusangka tangan kekar itu kembali menampar kasar pipi ibuku. Kulihat air matanya menetes seketika. Dia masih memegangi pipi kirinya yang kemerahan. Aku tahu perasaan ibu, pastilah hatinya jauh lebih sakit dibandingkan pipinya.

Sungguh, baru kali ini Ibu berani menjawab omelan Ayah panjang lebar dan sedikit ketus. Biasanya dia jarang sekali menjawab, hanya mengangguk pasrah ketika diberondong Ayah dengan kata-katanya yang menyakitkan. Karena Ibu tahu, tiap kali Ibu menjawab pastilah tamparan itu mendarat di pipinya.

 

Adik laki-lakiku menagis seketika. Kasihan dia, melihat di depan matanya sendiri bagaimana perlakuan Ayahnya yang kasar pada Ibunya.

 

Ia remas kasar wajahnya yang sudah banyak tanda-tanda keriput. Sorot matanya masih tajam menatapku, kadang beralih menatap Ibu yang masih terus menyeka air matanya.

 

“Kamu tahu to Mirah. Kalau duit itu buat bayar wisuda Sari. Kamu mau dia gagal wisuda heh?”

“Atau jangan-jangan emang kamu nggak suka kalau Sari jadi sarjana? Iri kamu karena Lia nggak kuliah?”

 

Ibu menggeleng cepat. Kupeluk Ibu untuk menenangkan. Sesakit-sakitnya aku pastilah jauh lebih sakit Ibu.

 

“Selama ini aku nggak pernah macem-macem sama Sari hlo Mas. Tiap dia menolak perintahku, aku cuma diam. Nggak pernah marah. Selalu Lia yang kuminta mengerjakan semuanya. Masih kurang percayakah kamu Mas? Kalau aku tak pernah pilih kasih?”

 

“Memang harusnya begitu. Nggak perlu caper di depanku. Toh selama ini aku sudah mengangkatmu dari jurang kemiskinan itu. Tinggal di rumah yang cukup nyaman ini gratis to… nggak bayar. Harusnya kamu bersyukur Mirah. Aku mau menghidupi bapakmu dan anakmu. Kamu tak harus susah payah kerja jadi buruh tani di sawah orang.”

 

“Aku kan istrimu Mas. Selayaknya aku tinggal di rumahmu. Kalau dari awal kamu nggak suka aku memboyong anak dan bapakku ke sini, aku nggak akan pernah lakuin itu Mas. Aku juga nggak akan jual juga gubuk dan sepetak tanahku itu. Biarlah kami hidup dalam jurang kemiskinan asalkan hati kami tenang dan bahagia. Kalau tahu ternyata sikapmu seperti ini, nggak mau aku….”

 

Ibu menjatuhkan kepalanya di kasur. Badannya terguncang pertanda tangisnya mulai pecah. Dengan telapak tangan, Ibu berusaha meredam tangisnya yang sudah mulai terdengar cukup keras. Aku yakin karena Ibu takut ada tetangga yang mendengar tangisannya.

 

“Coba teruskan kalimatmu, Mirah. Kamu nggak mau opo hah? Nggak mau nikah sama aku? Mau jadi janda selamanya? Mana ada yang sudi menikahimu selain aku. Kamu ini sudah miskin, banyak tingkah pula. Sampai hamil nggak ada yang tanggungjawab.”

 

Kututup mulutku cepat. Entah apa maksud kalimat Ayah. Selama ini Ibu selalu bilang kalau Ayah kandungku sudah pergi sejak aku bayi. Aku juga tak pernah bertanya kenapa tak ada nama Ayah dalam akteku. Hanya tertera nama Ibu saja. Aku takut membuat Ibu kembali terluka. Oleh karenanya semua kebingungan itu kusimpan rapat-rapat.

 

“Apa-apaan kamu, Mas. Kamu sudah janji tak akan mengungkit itu lagi. Semua orang juga tahu kalau aku diperkosa preman pasar itu. Dia yang mengumbar sendiri aib itu sebelum akhirnya menghilang dari desaku. Tapi kenapa kamu ungkit lagi luka yang sudah kukubur dalam-dalam itu. Apa salahku padamu?”

 

Tangis ibu kembali pecah. Ibu tak lagi berusaha meredamnya. Adik laki-lakiku yang berusia 5 tahunanpun ikut menangis.

 

Sekian tahun kusimpan pertanyaan dan kebingunganku itu, kini terjawab sudah. Aku tak tahu lagi bagaimana caraku menghibur Ibu. Aku yakin sakit hati Ibu teramat dalam. Aku hanya mampu menyeka kristal-kristal bening yang semakin deras mengalir di kedua sudut matanya.

 

****

Selengkapnya di KBM APP : 

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 4


Continue reading

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 3


 PART 3

 

Bus jurusan Solo ini melaju cukup cepat. Setelah sampai perempatan Monggot aku segera turun. Sang kondektur sudah teriak-teriak menyuruhku lebih cepat. Bus-bus di sini memang sudah terkenal agak awut-awutan saat dalam perjalanan. Entah karena kejar target atau memang sudah menjadi kebiasaan. Entahlah...

 

Aku tak terlalu peduli. Yang penting saat ini sudah turun dari bus itu dengan selamat, tanpa kekurangan suatu apapun. Tak seperti tiga bulan lalu saat aku mudik, kardus berisi oleh-olehku dilempar begitu saja di tepi jalan saat aku perlahan turun dari bus. Alhasil aneka keripik oleh-oleh dari Budhe Lasmi untuk ibu banyak sekali  yang remuk. Menyebalkan!

 

Sejak aku sekolah menengah pertama, aku memang sangat dekat dengan Budhe Lasmi. Apalagi saat Dia mencarikanku pekerjaan paruh waktu itu. Aku sangat berhutang budi padanya. Karena berkat dia, aku bisa melanjutkan sekolah hingga lulus menengah atas.

 

Budhe Lasmi selalu menyemangatiku dan membantuku banyak hal, termasuk saat aku meminjam uang untuk membayar uang gedung saat aku duduk di kelas dua sekolah menengah atas waktu itu. Aku terpaksa berhutang, karena tabunganku belum cukup untuk membayarnya. Sedangkan sekolah memintaku melunasinya sebelum kenaikan kelas tiba.

 

Budhe Lasmi selalu bilang tak perlu melunasinya karena sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Namun aku selalu mecatat nominalnya. Karena bagiku, hutang harus tetap dibayar berapapun itu.

 

“Apa kubilang hah?! Sekolah itu mahal. Gak perlu berlagak jadi orang kaya! Pakai acara melanjutkan SMA pula. Sekarang minta bantuan ibumu untuk bayar uang gedung? Darimana ibumu dapet uang kalau bukan dariku?”

 

Kulihat sorot mata tajam seperti kilatan petir menyambar. Kemarahannya memuncak hanya karena aku mengeluh soal pembayaran uang gedung yang kurang limaratus ribu rupiah.

 

Selama ini aku tak pernah meminta apapun darinya. Sekolahpun aku biayai sendiri dengan bekerja paruh waktu. Uang seragampun aku bayar sendiri dari hasil membongkar celengan ayamku. Celengan yang aku isi sedikit demi sedikit sejak sekolah menengah pertama itu. Sebagian dari hasil dari pemberian para tetangga saat lebaran tiba atau pemberian Budhe Lasmi ketika dia pulang kampung.

 

Aku sangat berhemat soal uang, karena aku tahu Sekolah Menengah Atas membutuhkan banyak biaya jadi sebisa mungkin aku tidak merepotkan ibu apalagi ayah tiriku.

 

“Aku sudah bilang puluhan kali sampai capek mulutku. Tapi kamu tak pernah mau mendengar. Daripada sekolah buang-buang duit, lebihbaik kawin. Sudah beruntung ada yang melamarmu. Kenapa kamu tolak? Jangan sok jual mahal. Jangan sok cantik! Bikin malu keluarga!”

 

“Maafkan Lia, Yah. Tapi Lia nggak pernah bermaksud membuat Ayah dan Ibu malu. Lia…

 

Plakkkk!

 

Tak terasa air mataku meleleh. Kupegangi pipi kiriku yang sedikit perih. Sakitnya pipi ini tak melebihi sakit hatiku atas cacian dan umpatannya padaku.

 

“Dasar anak pembangkang. Menyesal aku sudah mengurusmu sejak piyik sampai sebesar ini. Gak ada balas budinya!”

 

“InsyaAllah nanti Lia akan kerja Yah. Untuk membantu Ayah dan Ibu melunasi hutang-hutang itu.”

 

“Kerja apa kamu? Sampai berapa tahun kamu bisa melunasi hutang Ayah itu, hah? 60 juta bukan uang yang sedikit. Belum lagi bunganya yang pasti akan selalu naik tiap bulannya. Kawin saja sama si Adit itu, semua ursan beres!”

 

“Lia belum siap menikah, Yah. Lia masih ingin sekolah dan kerja dulu. Apalagi Lia sudah kelas dua, sayang kalau tidak diselesaikan.”

 

“Buat apa sekolah kalau ujung-ujungnya juga di dapur. Buang-buang duit saja! Sudah jelas ada mutiara di depan mata, malah sibuk cari kerikil di tumpukan jerami. Kamu tahu to, siapa yang melamarmu tempo hari? Anak mantan lurah di desa kita. Banyak gadis di sini yang ingin jadi istrinya. Termasuk kakakmu. Eh malah kamu tolak lamarannya. Dasar anak gak tahu diuntung. Anak durhaka!”

 

“Sekali lagi Lia minta maaf Yah. Lia nggak pernah bermaksud menjadi anak pembangkang. Tapi…”

 

“Tapi apa hahh!”

 

Matanya kembali membulat. Telapak tangannya mengepal geram. Kulihat Mbah Kakung tergopoh-gopoh menghampiriku. Mungkin Mbah Kakung baru pulang dari rumah Pak RT. Tadi sempat bilang ada urusan dengan Pak Rohman.

 

“Kenapa lagi Gung? Sudah-sudah. Jangan marah-marah terus. Malu didengar tetangga”

 

“Persetan dengan omongan tetangga. Tahu apa mereka. Bisanya cuma tepuk tangan kalau kita susah.”

 

Ayah kembali menatapku dengan amarah memuncak. Mbah Kakung memelukku. Tak henti-hentinya dia menepuk pundakku pelan dan membelai kepalaku yang tertutup jilbab ungu.

 

“Tunggu dulu Pak. Agung belum selesai bicara sama Lia,” ucap Ayah cepat saat melihat Mbah Kakung menarik lenganku. Dia pasti akan mengajakku ke teras. Seperti biasanya saat Ayah kembali menghujaniku dengan amarahnya.

 

“Maafkan Lia, Yah. Lia nggak pernah bermaksud membuat malu keluarga ini. Tapi Yah.. Ayah pasti juga tahu kalau Mas Adit doyan minum minuman keras, apalagi saat ada orang hajatan di kampung kita. Dia juga terkenal gonta-ganti pacar. Orangtuanya saja sampai angkat tangan menghadapinya. Masa orang seperti itu mau dijadikan Imam?”

 

Aku mencoba membela diri, baru kali ini aku berani mengeluarkan isi hatiku. Karena aku tak ingin Ayah benar-benar menerima lamaran Mas Adit. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika aku menjadi istri laki-laki sepertinya. Sungguh, aku takut meski sekedar membayangkannya sekalipun.

 

Aku juga tak paham kenapa Mas Adit justru melamarku tempo hari. Padahal yang kutahu, mantan pacarnya cantik-cantik. Apalagi dia juga tahu kalau Mbak Sari menaruh hati padanya. Mbak Sari yang bersih, cantik dan seksi karena dia sering perawatan ke salon dan pakai skincare lumayan mahal, menurut kantongku.

 

Aku tak habis pikir kenapa dia malah memilihku untuk menjadi istrinya. Aku yang terlalu biasa saja, tubuh kurus kerempeng dengan pakaian yang nggak gaul seperti teman-teman seusiaku. Akupun tak cantik dan bersih seperti mantan-mantannya. Bahkan sampai sedewasa ini, aku belum pernah ke salon meski sekedar potong rambut. Rambutku biasa kupotong sendiri. Aku nggak mau saat potong rambut di salon, tiba-tiba ada laki-laki yang masuk. Karena selama ini, aku belum pernah menemukan salon khusus muslimah.

 

“Bodoh kamu! Ayah banyak hutang budi sama Pak Sapto. Hutang Ayah padanya juga banyak. Karena Pak Saptolah yang selalu membantu ayah membayar cicilan bank itu tiap bulan. Pak Sapto bilang akan menganggap lunas jika kamu mau menikah dengan Adit. Beliau berharap kamu bisa mengajak Adit berubah. Beliau sudah angkat tangan menghadapi anak satu-satunya itu.”

 

“Pak Sapto yang orangtua kandungnya aja kewalahan dan angkat tangan apalagi Lia, Yah…

 

“Diam kamu! Dasar bebal. Percuma aku ngomong panjang lebar. Sekarang terserah kamu. Mau nikah atau jadi perawan tua aku tak peduli. Yang pasti kalau tidak sama Adit, aku tak akan merestui pernikahanmu. Urusan uang gedungmu itu, pikir aja sendiri!”

 

Kulihat bola mata Ayah membulat. Kakek kembali menarik lenganku pelan.

 

“Istigfar banyak-banyak ya Nduk… Mbah Kakung yakin, kamu anak yang kuat. Kamu istimewa,” ucapnya lirih.

 

Aku kembali menunduk sembari melangkah ke kamar dengan isak yang tertahan. Ingin sekali aku mengadu pada ibu. Karena aku tak melihat Ibu sedari tadi. Mungkin Ibu belum pulang dari toko sembako dan bahan-bahan pertanian milik Ayah di desa sebelah.

 

Ingin sekali kucurahkan isi hatiku pada Ibu. Namun seringkali kutahan. Karena aku tak ingin membuat ibu semakin terluka. Aku tak ingin Ibu selalu menyalahkan dirinya atas semua luka ini. Aku tak boleh cengeng. Aku harus kuat. Itulah kata-kata yang seringkali kubisikkan sendiri.

 

Sengaja kututupi tubuhku dengan selimut doraemon pemberian Budhe Lasmi saat aku lulus sekolah menengah pertama kala itu saat kudengar pintu kamar diketuk pelan dari luar. Aku tahu Ibu masuk kamarku. Namun aku pura-pura tidur. Aku tak ingin melihat ibu jauh lebih terluka jika dia melihatku menangis. Lebihbaik kupendam sendiri lukaku ini. Biarlah aku tampak biasa-biasa saja di depannya.

 

Aku tahu sebenarnya Ibu juga menderita. Namun dia tak bisa berbuat banyak. Ibu selalu bilang padaku, akan tetap bertahan sampai kapanpun demi Satria, adik laki-lakiku. Ibu selalu bilang, Satria masih sangat membutuhkan sosok ayah.

 

Ibu juga  bilang padaku, cukuplah Ibu melakukan kesalahan satu kali. Ibu tak ingin mengulanginya lagi. Ibu tak ingin Satria hidup seperti aku yang tak pernah mendapatkan perhatian dan cinta dari seorang ayah.

 

“Maafkan Ibumu yang penuh dosa ini ya Nduk.. Ibu sudah gagal menjadi ibu yang baik untukmu. Ibu yang gagal memberikan sosok ayah yang tanggungjawabuntukmu kedua kalinya. Ibu yang gagal karena tak pernah bisa membelamu di depan ayahmu. Maafkan Ibumu ini ya Nduk.. Tapi ibu selalu mendoakan kamu di setiap sujud Ibu. Ibu yakin kelak kamulah yang akan menganggat derajat Ibu. Kelak kamu akan sukses dan membanggakan orangtuamu,” Ibu membelai pelan jilbabku yang tak beraturan.

 

Kudengar Ibu makin terisak. Ingin sekali aku memeluknya, namun aku takut ibu makin terluka jika melihatku terjaga. Aku tahu, ibu selalu menyimpan air matanya jika di hadapanku. Ibu selalu menyimpan lukanya sendiri.

 

“Jangan pernah lelah mendoakan ayahmu ya Nduk.. DIAlah Sang Pembolak-balik hati. Semoga ayahmu bisa cepat berubah. Jikalaupun tak bisa menjadi sosok ayah yang bertanggungjawab lahir dan batin, setidaknya dia tak lagi menyakiti hatimu. Tak lagi mengeluarkan kata-kata kotor itu padamu. Kamu anak ibu yang terbaik Nduk. Kamu anak berbakti. Allah akan selalu melindungi anak solehah sepertimu”

 

Kurasakan ciuman Ibu di pipi kiriku. Pipikupun basah oleh air matanya. Oh Ibu…. Kapan aku bisa menyeka air matamu? Kapan aku bisa menciptakan pelangi dalam hidupmu? Kapan aku bisa membuatmu bangga dan bahagia memiliki anak sepertiku? Kapan aku bisa membuktikan pada laki-laki itu kalau aku bukanlah anak pembawa  sial, bukan anak tak tahu diuntung, bukan pula anak tak tahu diri…

 

Buru-buru kuseka air mataku yang akan menetes. Aku masih memunggungi ibu yang  masih duduk di tepi ranjangku. Ibu membenarkan letak selimutku perlahan, kemudian melangkah pergi.

 

Pintu kamarku kembali ditutup rapat. Dadaku terasa sangat sesak. Tak kuat lagi kubendung air mataku. Kubiarkan bendungan itu jebol membasahi jilbabku yang masih berantakan. Kugigit selimutku kuat-kuat. Ingin rasanya aku teriak sekencang-kencangnya. Namun tak pernah bisa. Selalu kusimpan tangisku dalam diam. Hingga detik ini.

 

******* 


Selengkapnya di KBM APP

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 3


Continue reading