PART 6
Aku pamit ke Ibu dan Satria untuk kembali bekerja ke Jakarta. Ibu memelukku hangat seolah tak ingin kulepaskan. Dengan cerewetnya Satria pesan oleh-oleh jajanan kesukaannya saat aku mudik lagi nanti, entah kapan.
Kudengar suara motor berhenti di depan rumah. Mungkin Pakdhe Min sudah datang. Dia yang biasa mengantarku sampai pangkalan bus. Jarak antara rumahku dengan pangkalan bus lumayan jauh. Sekitar 45 menit.
"Mas Adit?"
Agak kaget saat kulihat Mas Adit sudah ada di ruang tamu bersama Ayah. Mereka serempak menoleh ke arahku.
"Nak Adit mau mengantarmu ke pangkalan bus, Lia" kata Ayah sedikit ramah.
Dia memang begitu, selalu cari muka di depan Mas Adit ataupun keluarganya. Berpura-pura baik dan perhatian padaku. Ada udang di balik batu. Padahal semua orang juga tahu, bagaimana sikapnya selama ini padaku.
"Tapi Yah. Lia biasa minta tolong Pakdhe Min. Tadi Lia juga sudah ke rumahnya, dia bilang bisa antar Lia"
"Mulai sekarang biar Nak Adit yang antar kamu. Dia kan calon suamimu. Gimana sih kamu?"
Aku mematung. Berulang kali kuulang kalimat Ayah. Berulang kali pula hatiku dag dig dug tak karuan.
Sekilas kulihat Mas Adit tersenyum menatapku.
"Tapi Yah....
"Sudah jangan banyak alasan. Dulu kamu bilang ingin kerja. Ayah sudah kasih kamu waktu 4 tahun buat kerja. Mau berapa tahun lagi kamu menunda-nunda pernikahan itu he?"
"Lia kan masih pengen kuliah Yah...
"Buat apa? Toh sudah ada laki-laki mapan yang siap melamar kamu kapan saja. Ngapain capek-capek kuliah kalau ujung-ujungnya di dapur juga?"
Ayah masih menekan emosinya. Aku yakin jika tidak ada Mas Adit di sini, mungkin aku sudah ditamparnya.
"Dia sudah sabar menunggu kamu loh Lia. Jangan ngelunjak kamu. Jangan sok...
Belum selesai bicara, Mas Adit memotong kalimat Ayah. Sembari berulangkali minta maaf.
"Maaf Pakdhe... Maaf ini ya, saya akan menunggu Lia sampai dia siap Pakdhe. Jangan sampai dia nikah sama saya karena terpaksa. Nanti malah ambyar. Kalau Lia mau kuliah dulu nggak apa-apa. Saya yang biayai kuliahnya juga nggak masalah. Berapa tahun Lia? Mau S1 apa D3 aja?"
Mas Adit kembali tersenyum. Aku menoleh sekilas. Dia memang begitu, selalu banyak cara untuk meluluhkanku. Tapi aku masih tetap tak ada rasa sedikitpun padanya.
Aku masih tetap nggak suka dengan sikap-sikapnya yang sering gonta-ganti pacar, sering minum-minuman keras dan jarang sholat. Bahkan saat orang-orang sholat Jumat saja, dia malah asyik main gitar di pos ronda. Begitu cerita dari para tetangga padaku tiap aku pulang kampung. Dia belum juga berubah. Sedari dulu.
"Lia! Panggilan Ayah membuyarkan lamunanku.
"Kebiasaan kalau diajak bicara malah melamun."
"Maaf Yah...
"Minta maaf sama Nak Adit bukan sama Ayah. Dia kan yang ngajak ngobrol kamu, malah kamu cuekin"
"Maaf Mas Adit... tapi Lia mau kuliah dengan biaya sendiri. Nggak pengen merepotkan orang lain" kataku pelan.
"Nggak apa-apa aku ikhlas kok buat biayain kamu kuliah. Gimana D3 aja ya biar cepet lulusnya?" Dia kembali tersenyum. Senyum yang membuatku semakin takut.
"Nanti kalau jadi kuliah nggak usah nunggu lulus, nikah duluan juga nggak apa-apa Nak Adit. Lagian Nak Adit juga sudah punya penghasilan, sudah mapan ngapain lama-lama. Iya to?"
Mas Adit manggut-manggut. Aku kembali menunduk.
"Saya sih kapan saja siap Pakdhe" jawabnya cepat. Membuat hatiku makin tak karuan.
"Yasudah berangkat sana. Inget nggak usah ganjen sama laki-laki lain, kamu sudah punya calon"
Ayah kembali mengingatkanku. Tanpa pernah mau mendengar alasan penolakanku.
Dia memang tak pernah mau tahu apa yang aku rasakan. Yang paling penting baginya, aku harus menuruti apapun perintahnya. Meski itu sangat bertolak belakang dengan yang kurasa.
Kali ini, terpaksa aku mengiyakan permintaan Mas Adit untuk mengantarku ke pangkalan bus. Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Kudengarkan saja ceritanya tentang usahanya sekarang, omsetnya dan tabungannya untuk membangun rumah impian.
Aku hanya menjawab sepatah dua patah kata saat dia bertanya. Aku tahu dia sengaja menceritakan semuanya mungkin agar aku tertarik padanya. Padahal aku tak sematre itu. Aku tak memandang seberapa banyak harta atau sesukses apa dia untuk membuatku jatuh cinta. Aku hanya menuruti kata hatiku sendiri. Karena cinta tak bisa dipaksa untuk jatuh ke hati yang mana.
Dia berhenti di warung bakso depan pangkalan bus.
"Kita makan dulu ya Lia. Busnya juga belum datang tuh."
"Lia sudah makan Mas" jawabku cepat.
"Yasudah minum aja kalau nggak mau makan. Temani aku makan ya? Aku juga pengenlah makan berdua sama kamu. Belum pernah sekalipun to, Lia. Kamu emang susah kalau diajak jalan meski cuma sekedar makan"
Inginku menolak tapi tak enak hati karena dia sudah capek-capek mengantarku sampai pangkalan bus. Terpaksa aku mengiyakannya. Memilih kursi paling ujung untuk duduk. Warung ini lumayan sepi tak seperti biasanya yang selalu ramai pengunjung.
"Jus jambu 1 ya Mbak. Bakso sama es jeruknya 1"
Aku menoleh sekilas. Entah siapa yang memberitahunya, kalau jus jambu adalah minuman favoritku.
"Aku tahu kok kamu suka jus jambu" ucapnya lagi sembari menarik kursi di sebelahku. Aku agak bergeser sedikit tak ingin terlalu dekat.
"Aku bukan orang jahat Lia. Ya mungkin memang aku sering gonta-ganti pacar. Tapi percaya deh, sebrengsek-brengseknya laki-laki pasti menginginkan istri yang baik dan sholehah. Lagian aku pacaran nggak pernah lama, cuma iseng aja itu. Sembari nunggu kamu."
Dia kembali bercerita tanpa kutanya.
"Makanya jangan lama-lama ya. Karena hati laki-laki dan perempuan itu sangat berbeda"
Dia menoleh sekilas ke arahku. Mencoba meyakinkanku akan ucapannya.
"Mas Adit tahu kan kalau Lia tidak bisa mencintai Mas Adit?"
"Bukan tidak bisa tapi belum bisa dan butuh waktu" jawabnya sok tahu.
Dasar keras kepala, batinku kesal.
"Nanti kalau sudah menikah juga bisa jatuh cinta. Contohnya Ayah Bundaku. Dulu juga dijodohkan, sampai sekarang mereka akur, saling cinta dan bahagia."
Lagi-lagi dia menoleh ke arahku cepat.
"Foto ya..."
Belum sempat kutolak dia sudah main jepret beberapa kali.
"Buat kenang-kenangan sama senjata kalau nanti kangen tiba-tiba. Tenang aja, nggak bakal aku pelet kok"
Dia terkekeh sambil memasukkan henpon ke saku jaketnya.
Bakso dan minuman sudah datang. Dia berulang kali bertanya padaku apakah mau pesen bakso juga atau tidak. Sampai bosan aku menjawabnya.
"Ini buatmu ya. Aku tahu tabunganmu sudah habis diminta Ayahmu tempo hari. Ya kan?"
Mas Adit memberiku amplop putih. Aku menoleh cepat, tak paham apa maksudnya. Dia lagi-lagi tersenyum.
"Lia masih punya pegangan sendiri Mas." jawabku singkat. Kutolak amplop putih yang dia tawarkan.
"Ikhlas kok aku. Nih..
Lagi-lagi Dia menyodorkan amplopnya.
"Maaf Mas. Lia masih punya pegangan sendiri. Baiknya uang itu ditabung saja" jawabku meyakinkannya.
"Terima kasih ya sudah diantar ke sini. Lia mau masuk bus dulu ya, itu sudah datang busnya."
Beruntung sekali bus yang ditunggu-tunggu sudah datang. Dia menoleh cepat ke arah pangkalan bus.
"Okelah. Ini buat tabungan saat kita nikah nanti" ucapnya pelan.
Entah mengapa dia bisa seyakin itu. Padahal berulang kali aku bilang tidak mencintainya dan masih banyak mimpi yang ingin aku wujudkan. Tapi berulang kali juga Dia bilang akan menungguku.
"Lia... Dia memanggilku saat aku beranjak dari tempat duduk.
"Sebenernya aku nggak rela kalau kamu selalu dimaki Ayahmu. Tapi aku tak bisa berbuat banyak, kecuali kalau kita sudah nikah, pasti aku akan selalu membelamu. Tak akan kubiarkan siapapun menyakitimu," ucapnya meyakinkan.
Aku berhenti sejenak. Menoleh ke arahnya. Entah apa yang merasukinya bisa jatuh cinta padaku, dia yang cukup tampan, berasal dari keluarga baik-baik, kecukupan dari segi apapun sedangkan aku yang entahlah...
"Lia...
Kutepis telapak tangannya saat ingin memegang tanganku. Aku selalu berusaha untuk tidak bersentuhan dengan non mahrom kecuali tak disengaja.
"Ohiya maaf. Aku lupa kalau kamu memang berbeda" gumamnya.
Aku kembali duduk. Menjelaskan padanya apa yang kurasa, supaya dia bisa ambil sikap. Berhenti dari sekarang atau justru hanya menyia-nyiakan waktu jika menungguku.
"Lia belum siap menikah Mas. Dengan siapapun itu. Kalau Mas Adit sudah siap menikah, bisa cari perempuan lain ya" ucapku pelan tak ingin didengar orang lain.
"Percayalah, aku masih setia menunggumu. Tapi kalau bisa jangan lama-lama gitu maksudku, Lia." Ucapnya lagi. Kembali mencoba untuk meyakinkanku.
"Tapi Lia nggak janji Mas. Lia nggak janji mau nikah sama Mas Adit. Daripada nanti waktu Mas Adit terbuang percuma hanya menunggu Lia. Bukankah lebihbaik Mas Adit mencari wanita lain yang lebih baik daripada Lia? Banyak kok di luar sana. Lagian Mas Adit kan tinggal tunjuk siapa yang Mas Adit mau ya kan?"
"Nyatanya aku nunjuk kamu, kamunya nggak mau. Perempuan memang banyak Lia. Yang cantik-cantik juga banyak. Tapi selama ini, baru kamu yang paling baik di mataku. Kamu berbeda."
Dia menatapku tajam, membuatku salah tingkah. Aku hanya menghembuskan napas cepat. Pamit padanya dan masuk ke dalam bus tanpa menoleh ke arahnya lagi.
Selengkapnya di KBM APP
![]() |
Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 6 |
***
0 koment: