Senin, 24 Oktober 2022

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 7


 PART 7

 

Azan subuh berkumandang. Kukucek kedua mata dari balik kaca mata ungu kesayanganku.

 

Suasana di luar masih sepi dan agak gelap. Supir bus dan sang kondektur masih bercakap-cakap pelan.

 

Dari merekalah aku tahu, saat ini sudah melewati Cikarang. Sebentar lagi akan sampai Bekasi Timur.

 

Aku kost di daerah Kayu Ringin Jaya Bekasi Barat. Tak terlalu jauh dengan Mall Matropolitan. Melewati gerbang tol Bekasi Barat akupun melangkah ke depan, bersiap-siap akan turun. Beberapa penumpang lain melakukan hal yang sama.

 

Kami antri dan turun perlahan. Dengan jalan kaki aku menuju kost. Membutuhkan waktu sekitar 8 menit untuk sampai kost tercinta.

 

Kost dua lantai itu masih sepi. Mungkin sudah ada beberapa teman kostku yang bangun, hanya saja mereka memang sering bermalas-malasan di kamar sebelum berangkat kerja.

 

"Assalamu'alaikuuummm ," salamku pelan saat mulai menaiki tangga lantai dua.

 

Ada jawaban pelan dari atas. Gita tersenyum lebar menyambutku.

 

Gita adalah tetangga kost yang paling ramah padaku. Mungkin karena kami sama-sama berasal dari Jawa Tengah. Dia dari Pemalang, sedangkan aku dari Purwodadi.

 

Teman kost yang lain semuanya berasal dari Jawa Barat. Ada beberapa yang dari Jateng juga tapi berada di kamar bawah.

 

Ohya kost ini ada 10 kamar. 5 kamar di bawah dan 5 kamar di atas. Kamar atas hanya terisi 4 karena 1 kamarnya jadikan gudang.

 

Gita sering curhat padaku soal tunangannya, ayahnya yang sakit stroke dan Ibunya yang harus cari nafkah dengan jualan nasi pecel keliling.

 

"Hai Lia... piye kabarmu? Wah baru kamu tinggal 4 hari aku dah kangen loh" tanyanya sambil cengengesan.

 

"Bawa oleh-oleh nggak?" Dia kembali tersenyum saat ikut masuk ke kamarku.

 

"Bawa. Ini buat Gita tersayang" jawabku kemudian. Bingkisan putih itu berisi keripik tempe dan rengginang.

 

"Opo iki, bukan swike to? Gak doyan aku," tanyanya sambil mengintip plastik putihnya.

 

Swike adalah makanan khas Purwodadi. Yang terkenal di kampungku adalah swike kodok, meskipun banyak juga yang membuat swike ayam, bebek atau menthok.

 

"Kalau kodok aku juga gak maulah Git. Lihatnya juga dah geli" aku menimpali.

 

Kulihat dia asyik ngemil rengginang kesukaannya sambil duduk bersandar di tembok kamar. 

 

"Kabar Ibumu gimana Lia? Sehat to?"

 

"Sehat, Alhamdulillah. Adikku juga sehat. Makin pintar dan cerewet"

 

"Asyiknya punya adik. Sayangnya aku nggak punya. Punya kakak sebiji aja ngeselin luar biasa" ceritanya cepat.

 

"Makanya bikin adik sendiri aja. Jangan kelamaan pacaran. Buruan nikah" godaku lagi.

 

Aku memang sering menggodanya untuk segera menikah. Toh dia pacaran sudah cukup lama,  dari sejak kelas 2 SMA. Gita hanya terkekeh mendengar guyonanku.

 

"Nggak tahu nih. Pacaran apa kredit motor. Lama banget nggak kelar-kelar" jawabnya cepat.

 

Aku memang lumayan akrab dengan Gita. Namun aku tak pernah bercerita soal kehidupan pribadiku padanya. Meski seringkali dia menceritakan hidupnya padaku. Entahlah, aku bingung mau cerita darimana. Yang pasti, teman setiaku masih buku diary berwarna merah jambu itu.

 

*** 

 

Gerimis mengguyur Jakarta Timur saat aku turun dari angkot. Bakda ashar ini aku ke tempat Budhe Lasmi, mengantarkan oleh-oleh sambil silaturahmi. Sudah 7 bulan terakhir aku belum bertemu dengannya.

 

Budhe Lasmi adalah seorang janda yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Pak Hermawan. Dia sudah menganggapku seperti anak sendiri. Maklumlah, Budhe Lasmi memang tidak memiliki keturunan. Setelah ditinggal pergi suaminya 12 tahun lalu, dia tidak menikah lagi sampai saat ini.

 

10 tahun Budhe Lasmi bekerja di rumah bosnya. Dia bilang kedua bosnya sangat baik, sehingga membuatnya betah bekerja di sana. Kedua anak mereka juga sopan-sopan. Tiap bulan selalu dikasih bonus dan sering diajak jalan-jalan ke luar kota untuk cuci mata.

 

"Assalamualaikum Pak Karno" sapaku dari balik pagar saat aku sampai di rumah mewah bertingkat dua itu.

 

Pak Karno, satpam di rumah itu segera membukakan pagar untukku. Dia membuang puntung rokoknya cepat. Kami memang sudah kenal karena beberapa kali aku main ke rumah ini dan beberapa kali juga aku menginap di sini.

 

"Wa'alaikumsalam Mbak Lia. Dah lama nggak ke sini ya mbak. Gimana kabarnya?"

 

Pak Karno tersenyum ramah. Kuberikan bingkisan kecil padanya. Isinya sama dengan bingkisan untuk Gita tadi pagi.

 

Berulang kali Pak Karno mengucapkan terima kasih. Setelah ngobrol sebentar, Pak Karno mengantarku ke kamar Budhe Lasmi.

 

Kulihat Budhe Lasmi masih sibuk di dapur. Mungkin masak untuk makan malam.

 

"Budhe, Lia bantu ya?" sapaku kemudian. Budhe Lasmi tampak kaget, menoleh ke arahku kemudian tersenyum lebar.

 

"Ora usah. Cuma masak cumi sama kerang permintaan Mas Galih. Ada teman-temannya datang. Tapi ini sudah selesai kok" jawab Budhe Lasmi cepat.

 

"Kapan kamu datang, Budhe nggak lihat tadi. Maaf ya" ucapnya lagi. Kulihat Budhe Lasmi mematikan kompornya.

 

"Baru aja kok Budhe. Ini Lia bawa nasi jagungnya. Tapi nggak tahu deh basi apa nggak budhe. Tadi sih udah Lia angetin di kost, coba Budhe cek dulu. Kalau basi ya belum rezeki Budhe berarti"

 

Budhe Lasmi kembali tersenyum, membuka kotak makan yang kubawa.

 

"Masih enak. Budhe makan aja langsung daripada nanti malah basi. Iya to? Ayo makan sama kamu sekalian. Dah lama banget nggak makan begini, kangen kampung" tambahnya lagi.

 

Aku ikut makan beberapa suap dan berhenti saat kudengar suara Kak Galih memanggil nama Budhe.

 

"Budhe lanjut makan dulu. Biar Lia yang ke sana. Mungkin cuma minta tolong bikinin minum atau ambilin sesuatu seperti biasanya, Budhe" cegahku saat Budhe buru-buru menutup kotak makan dariku.

 

Dia mengangguk pelan, masih sibuk mengunyah nasi jagung dan bandeng goreng kesukaannya. 

 

"Maaf Kak Galih. Budhe Lasmi masih makan, bisa Lia bantu?" tanyaku kemudian. Aku hanya melihat sekilas ruang tengah tempat Kak Galih dan 4 orang temannya berkumpul main game.

 

Mereka menoleh ke arahku bersamaan. Mungkin kaget karena yang datang bukan Budhe Lasmi melainkan aku.

 

"Eh Lia. Kapan datang?" tanya Kak Galih kemudian. Dia memang ramah dan sopan pada siapapun. Tak memandang apa status lawan bicaranya.

 

"Barusan Kak. Lia nganter titipan Budhe Lasmi dari kampung." jawabku pelan masih dengan menunduk.

 

Aku terlalu kurang percaya diri, apalagi jika berhadapan dengan banyak laki-laki seperti ini. Ada yang saling bisik-bisik entah apa yang mereka tanyakan pada Kak Galih.

 

"Bisa Lia bantu Kak?" tanyaku lagi. Ingin rasanya segera pergi dari tempat itu.

 

"Ohya, tolong bikinin minuman buat mereka ya Lia. Sekalian cumi sama kerangnya tolong siapin di meja makan. Maaf ya Lia, merepotkan" lanjutnya sambil tersenyum kecil.

 

"Nggak apa Kak. Santai aja. Nggak merepotkan kok. Permisi ya"

 

Aku mundur beberapa langkah dan berbalik cepat menuju dapur.

 

Lega sekali rasanya bisa kabur dari sana. Masih sibuk menata gelas di atas nampan, kudengar langkah kaki menuju dapur.

 

Sosok laki-laki itu tersenyum kecil menatapku saat aku menoleh ke arahnya. Aku tak tahu siapa dia. Seingatku, baru kali ini kulihat dia main ke rumah Kak Galih. Aku memang tak terlalu memperhatikan teman-teman Kak Galih tiap kali mereka datang. 

 

"Hai kenalkan aku Awan" ucapnya pelan kemudian tersenyum sambil menakupkan kedua telapak tangannya ke dada. Aku melakukan hal yang sama sembari menyebut nama.

 

"Aku bantu ya?" pintanya cepat saat aku mulai menuangkan minuman ke gelas.

 

"Nggak usah Kak. Biar Lia saja" jawabku cepat. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.

 

Dengan cekatan membawa nampan berisi lima gelas yang sudah terisi orange jus itu ke ruang tengah.

 

Terdengar sorak-sorai dari teman-temannya. Entah mengapa seheboh itu. Apa hanya dengan membantu membawakan nampan adalah prestasi luar biasa bagi mereka?

 

Entahlah... 

 

 Selengkapnya di KBM APP

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 7

***

Previous Post
Next Post

0 koment: