PART 4
Henponku kembali bergetar. Sengaja tak kuangkat. Aku takut laki-laki itu kembali menghujaniku dengan kata-katanya yang kotor. Semakin kudiamkan, semakin lama henponku berdering. Nama Budhe Lasmi muncul di layar. Syukurlah..
“Assalamu’alaikum Budhe,” ucapku pelan sembari menjinjing tas hitamku. Berisi beberapa bungkus oleh-oleh dan beberapa stel pakaian.
Aku tak bisa berlama-lama di kampung karena aku hanya mengambil cuti 4 hari untuk menghadiri pemakaman Mbah Kakung ini.
“Wa’alaikumsalam Lia. Sudah sampai kampung belum?” Ada nada khawatir dari suara Budhe Lasmi.
“Alhamdulillah Budhe. Ini sudah mau naik ojeg,” jawabku pelan.
Desaku memang cukup jauh dari kota. Jadi harus pakai ojeg atau dijemput dulu untuk sampai rumah. Tak ada angkot ataupun bis yang masuk ke desaku. Hampir semua sarana menggunakan ojeg motor.
“Alhamdulillah… Budhe khawatir soale. Tadi lihat berita itu hlo, ada kecelakaan di Gubug. Makane Budhe cepet-cepet telpon kamu.”
“Oh nggeh Budhe, alhamdulillah Lia baik-baik saja.”
“Yowes kalau gitu, seng sabar yo Lia. Mbah Kakung sudah tenang di sisiNya. Semangat. Misal ono opo-opo, ceritao sama Budhe. Wes anggep wae Budhe ini ibu keduamu,” nasehat Budhe Lasmi lagi.
Entah sudah berapa kali Budhe Lasmi menasehatiku dengan kalimat yang hampir sama. Mungkin karena Budhe Lasmi takut aku depresi kehilangan Mbah Kakung.
“Nggeh Budhe. InsyaAllah. Matur nuwun sanget hlo Budhe.”
“Wes buruan ngojeg. Nanti bapakmu tambah ngomel-ngomel kalau telat pulange. Salam kanggo Ibumu yo.”
Budhe Lasmi mengucap salam dan mematikan sambungan telfon kami. Akupun segera naik ojeg yang sudah parkir di pangkalan.
Butuh 30an menit untuk sampai rumah. Memasuki desaku hati ini mulai tak tenang. Ada rasa kangen, rasa takut dan rasa pilu yang menjalar pelan di sana.
Entah mengapa air mataku kembali menetes. Aku memang tipe orang yang mudah sekali menitikkan air mata. Cengeng, memang.
Kulihat di halaman rumah sudah banyak bapak-bapak yang datang. Mereka serempak menoleh ke arahku ketika aku berhenti di tepi jalan dan membayar ojeg. Beberapa di antara mereka tersenyum ramah saat tak sengaja berpapasan denganku.
Jantungku bergedup lebih kencang saat tak sengaja mataku berpapasan dengan mata tajam itu. Tak ada senyum di sana. Aku berjalan menunduk sampai pintu rumah. Mengucapkan salam dan bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih.
Banyak ibu-ibu yang datang membacakan surah Yasiin untuk Mbah kakung. Ibu memelukku hangat. Menyeka bulir-bulir kecil yang keluar begitu saja dari kedua sudut mataku.
Rasanya aku tak kuat melihat Mbah Kakungku memakai kain kafan detik ini. Semua terasa seperti mimpi. Untuk terakhir kalinya kutatap lekat-lekat wajahnya yang mengeriput. Ada senyum di sana. Aku selalu berharap dan berdoa, semoga Mbah Kakung mendapatkan tempat terindah di sisiNya.
“Seng ikhlas ya Nduk. Mbah Kakung sudah tenang di sisi Gusti Allah. Semua sudah siap diberangkatkan, tinggal nunggu kamu datang saja,” Budhe Nur menepuk-nepuk bahuku pelan. Aku hanya mengangguk. Tak mampu kuucapkan sepatah katapun.
Air mataku terus menetes. Tak berselang lama bapak-bapak memasukkan Mbah Kakung ke keranda dan membawanya ke pemakaman. Inilah detik-detik terakhirku melihat Mbah Kakung. Kakiku lemas. Tubuhku roboh seketika. Aku tak ingat lagi kejadian setelah itu.
Mataku terbuka perlahan. Kulihat Ibu masih sesenggukan di sampingku. Adik laki-lakiku hanya diam menatapku sembari memainkan permen tusuk di mulutnya. Dan laki-laki itu masih mematung di sudut kamar.
“Ikhlas ya Nduk… biar Mbah Kakung tenang di sana. Kita buka lembaran baru. InsyaAllah kelak kita kumpul sama Mbah Kakung di SurgaNya,” Ibu kembali menyeka air mataku yang terus meleleh.
Aku tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Entah mengapa seolah sebagian hatiku hilang. Mimpi-mimpiku yang dulu sering kuceritakan padanya seakan berjatuhan satu-persatu.
Aku selalu bilang,”Suatu saat Lia akan sukses Kung. Nanti Lia ajak Mbah Kakung Ke Baitullah. Melihat Ka’bah dari jarak dekat. Bersujud di Masjidil HaramNya. Seperti impian Mbah Kakung selama ini”
Mbah Kakung tersenyum bahagia. Mengelus kepalaku perlahan dan mendoakanku banyak sekali kebaikan. Aku belum bisa mewujudkan impian Mbah kakung namun ternyata Allah sudah lebih rindu padanya.
Bukannya aku ingkar atas semua janjiku. Namun aku sudah berusaha menabung untuk haji Mbah Kakung. Kusisihkan gajiku 200 ribu tiap bulan. Kuhemat sedemikian rupa agar gajiku yang 3 juta itu cukup.
Banyak sekali kebutuhan yang harus aku pikul dan aku prioritaskan. Akupun hanya mengambil jatah 800ribu tiap bulan untuk membayar kost, makan dan tabungan Mbah kakung. Kalau tak cukup, seringkali aku berpuasa. Berbuka dan sahur seadanya. Karena sisa gaji yang lain selalu kukirim untuk Ibu.
Ibu bilang sebagian besar untuk kuliah Mbah Sari dan untuk bayar cicilan Ayah di bank. Ayah sering sekali marah-marah saat menelfonku. Menganggapku anak durhaka karena menyembunyikan sebagian gajiku. Padahal tak pernah sedikitpun kusimpan uang itu untuk kebutuhan pribadiku.
Aku jarang sekali membeli baju atau tas baru. Tidak seperti teman-temanku yang selalu belanja ini itu saat gajian tiba.
“Mana gajimu bulan ini?” pertanyaan ayah membuyarkan lamunanku. Aku yang masih mencoba menerima kenyataan bahwa Mbah Kakung memang sudah pergi.
“Lia belum gajian Yah. Kan baru tanggal 24, Lia gajian tanggal 30,” ucapku berusaha meyakinkan.
“Halah alasan saja kamu. Trus ngapain kamu pulang kalau gak bawa duit, hah?”
“Lia… belum sempat kujawab, laki-laki itu kembali mengeluarkan kata-katanya yang menyakitkan.
“Yang paling penting itu duit. Kamu pulang atau nggak tak jadi soal. Kalau gak punya duit, mending ongkos bismu ditransfer pulang.” Ibu membelai pelan punggung tanganku.
“Lia harus pulang to mas, masak Mbahnya meninggal dia nggak pulang?” Ibu berusaha membelaku.
Baru kali ini kulihat Ibu sedikit ketus menjawab omelan Ayah. Biasanya dia selalu sabar, mengalah dan diam. Tak pernah memberontak ataupun mengeluarkan sepatah dua patah kata sebagai pembelaan.
“Halaaah, ngapain pulang kalau nggak bawa duit. Emang biaya pemakaman Mbah Kakungmu bisa dibayar pakai daun jati?”
“Kalau Lia nggak ada duit ya kita pakai duit dari toko dulu kan bisa Mas. Lagian tadi juga ada yang bayar hutang, itu bisa dipakai dulu buat biaya Mbah kakung. Orang sudah pergi dan tenang di sana kok masih diributin terus.” jawab Ibu panjang lebar.
Plakkkkk
Tak kusangka tangan kekar itu kembali menampar kasar pipi ibuku. Kulihat air matanya menetes seketika. Dia masih memegangi pipi kirinya yang kemerahan. Aku tahu perasaan ibu, pastilah hatinya jauh lebih sakit dibandingkan pipinya.
Sungguh, baru kali ini Ibu berani menjawab omelan Ayah panjang lebar dan sedikit ketus. Biasanya dia jarang sekali menjawab, hanya mengangguk pasrah ketika diberondong Ayah dengan kata-katanya yang menyakitkan. Karena Ibu tahu, tiap kali Ibu menjawab pastilah tamparan itu mendarat di pipinya.
Adik laki-lakiku menagis seketika. Kasihan dia, melihat di depan matanya sendiri bagaimana perlakuan Ayahnya yang kasar pada Ibunya.
Ia remas kasar wajahnya yang sudah banyak tanda-tanda keriput. Sorot matanya masih tajam menatapku, kadang beralih menatap Ibu yang masih terus menyeka air matanya.
“Kamu tahu to Mirah. Kalau duit itu buat bayar wisuda Sari. Kamu mau dia gagal wisuda heh?”
“Atau jangan-jangan emang kamu nggak suka kalau Sari jadi sarjana? Iri kamu karena Lia nggak kuliah?”
Ibu menggeleng cepat. Kupeluk Ibu untuk menenangkan. Sesakit-sakitnya aku pastilah jauh lebih sakit Ibu.
“Selama ini aku nggak pernah macem-macem sama Sari hlo Mas. Tiap dia menolak perintahku, aku cuma diam. Nggak pernah marah. Selalu Lia yang kuminta mengerjakan semuanya. Masih kurang percayakah kamu Mas? Kalau aku tak pernah pilih kasih?”
“Memang harusnya begitu. Nggak perlu caper di depanku. Toh selama ini aku sudah mengangkatmu dari jurang kemiskinan itu. Tinggal di rumah yang cukup nyaman ini gratis to… nggak bayar. Harusnya kamu bersyukur Mirah. Aku mau menghidupi bapakmu dan anakmu. Kamu tak harus susah payah kerja jadi buruh tani di sawah orang.”
“Aku kan istrimu Mas. Selayaknya aku tinggal di rumahmu. Kalau dari awal kamu nggak suka aku memboyong anak dan bapakku ke sini, aku nggak akan pernah lakuin itu Mas. Aku juga nggak akan jual juga gubuk dan sepetak tanahku itu. Biarlah kami hidup dalam jurang kemiskinan asalkan hati kami tenang dan bahagia. Kalau tahu ternyata sikapmu seperti ini, nggak mau aku….”
Ibu menjatuhkan kepalanya di kasur. Badannya terguncang pertanda tangisnya mulai pecah. Dengan telapak tangan, Ibu berusaha meredam tangisnya yang sudah mulai terdengar cukup keras. Aku yakin karena Ibu takut ada tetangga yang mendengar tangisannya.
“Coba teruskan kalimatmu, Mirah. Kamu nggak mau opo hah? Nggak mau nikah sama aku? Mau jadi janda selamanya? Mana ada yang sudi menikahimu selain aku. Kamu ini sudah miskin, banyak tingkah pula. Sampai hamil nggak ada yang tanggungjawab.”
Kututup mulutku cepat. Entah apa maksud kalimat Ayah. Selama ini Ibu selalu bilang kalau Ayah kandungku sudah pergi sejak aku bayi. Aku juga tak pernah bertanya kenapa tak ada nama Ayah dalam akteku. Hanya tertera nama Ibu saja. Aku takut membuat Ibu kembali terluka. Oleh karenanya semua kebingungan itu kusimpan rapat-rapat.
“Apa-apaan kamu, Mas. Kamu sudah janji tak akan mengungkit itu lagi. Semua orang juga tahu kalau aku diperkosa preman pasar itu. Dia yang mengumbar sendiri aib itu sebelum akhirnya menghilang dari desaku. Tapi kenapa kamu ungkit lagi luka yang sudah kukubur dalam-dalam itu. Apa salahku padamu?”
Tangis ibu kembali pecah. Ibu tak lagi berusaha meredamnya. Adik laki-lakiku yang berusia 5 tahunanpun ikut menangis.
Sekian tahun kusimpan pertanyaan dan kebingunganku itu, kini terjawab sudah. Aku tak tahu lagi bagaimana caraku menghibur Ibu. Aku yakin sakit hati Ibu teramat dalam. Aku hanya mampu menyeka kristal-kristal bening yang semakin deras mengalir di kedua sudut matanya.
****
Selengkapnya di KBM APP :
![]() |
Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 4 |
0 koment: