Senin, 24 Oktober 2022

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 5

 

PART 5

 

Hari ini adalah hari terakhirku di kampung. Aku sudah memesan tiket bus, rencana bakda dzhuhur akan berangkat. Meski duka itu masih begitu terasa, namun aku harus kuat. Aku harus bisa membuka lembaran baru tanpa Mbah Kakung di hidupku.

 

Kulihat Mbak Sari masih sibuk dengan ponselnya saat aku menyapu halaman. Begitu asyik sampai tak mendengar panggilan Ibu.

 

“Maaf Mbak. Mbak Sari dipanggil Ibu,” ucapku sembari menoleh ke arahnya.

 

Dia hanya mendongak sekilas, kembali melanjutkan aktifitasnya. Tanpa sedikitpun bergeser dari tempatnya semula.

 

Ibu berjalan ke arahku sambil menggendong Rio.

 

“Adikmu demam Lia. Tolong panggilin si Bayu atau Sapto ya, bilang saja Ibu minta tolong anterin ke puskesmas.”

 

Kupegang kening Rio dengan punggung tangan. Rio memang demam, pantas saja agak rewel sedari pagi.

 

“Nggak minta tolong Mbak Sari saja Bu? Sepertinya dia nggak terlalu sibuk,” jawabku pelan.

 

Kami menoleh ke arah Mbak Sari yang masih asyik dengan ponselnya. Tanpa melirik ke arah kami sedikitpun.

 

“Mana mau dia. Tadi Ibu panggil saja tak menjawab apalagi disuruh nganter ke puskesmas. Yang ada nanti ngomel-ngomel, ngadu ke Ayahmu macam-macam. Panggil Bayu atau Sapto saja, nanti biar Ibu kasih sangu buat beli bensin. Ibu tak siap-siap dulu."

 

Aku menghembuskan napas pelan. Kuletakkan sapu di samping pohon bambu yang rimbun. Segera ke rumah Bayu yang tak begitu jauh dari rumahku.

 

Ibu dan aku memang tak bisa naik motor. Dulu saat masih sekolah, seringkali aku minta ijin untuk belajar naik motor namun Ayah selalu melarang dengan berbagai alasan. Takut rusaklah. Takut nabraklah. Takut lecetlah. Belum waktunyalah. Hingga sampai detik ini, aku tak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang pengemudi.

 

Apapun yang kuinginkan, sepertinya Ayah memang kurang berkenan. Banyak aturan yang harus aku patuhi. Tak boleh dilanggar. Tak boleh banyak pertanyaan. Sangat berbeda dengan Mbak Sari. Apapun permintaan Mbak Sari, Ayah selalu berusaha memenuhi. Meski terkadang, permintaan-permintaan Mbak Sari tak wajar untuk usianya yang dulu masih duduk di bangku sekolah.

 

Mbak Sari juga dibiarkan bebas belajar naik sepeda motor sejak kami sama-sama kelas dua Sekolah Menengah Atas.

 

Seringkali dia pergi ke rumah teman sekelasnya untuk sekedar rujak-an, membeli boneka kesayangan atau foto-foto bersama untuk kenang-kenangan.

 

Dia benar-benar beruntung. Bisa menikmati masa sekolahnya dengan wajar. Seperti anak-anak lainnya. Pergi dan pulang sekolah dengan ceria.Saling traktir di warung Bakso Pak Slamet atau saling tukar kado saat ada yang ulang tahun.

 

Sedangkan aku?

 

Aku tak bisa sebebas itu menikmati masa-masa sekolahku. Terlalu sibuk dengan dunia baru yang mungkin belum sewajarnya aku genggam.

 

Di saat anak-anak seusiaku sekolah dengan riang gembira tanpa beban. Di saat mereka bangun pagi dengan alarm suara Ibu yang tak berkesudahan hanya untuk menyuruh mandi dan sarapan yang sudah terhidang di meja makan, di saat mereka mengenakan tas, sepatu dan wajah ceria tiap kali memasuki kelas, di saat mereka berhamburan keluar kelas dengan hati riang saat mendengar bel pulang, menikmati masa-masa sekolah yang begitu membahagiakan. Di saat itu pula aku hanya bisa berkhayal dan membayangkan hal yang sama. Yang pada akhirnya aku sadar, semua mustahil untuk kudapatkan.

 

Seringkali aku merasa iri. Terkadang mengasihani diri sendiri. Menangis di sudut kamar sendirian. Menuliskan luka dan air mata ini dalam buku diary yang usang.

 

Aku sudah terbiasa bangun sebelum adzan subuh berkumandang. Terbiasa, meski awalnya begitu terpaksa. Menyapu rumah megah itu kemudian mengepel lantainya sebelum penghuni rumah terjaga. Mencuci pakainnya dan membantunya memasak.

 

Sebelum berangkat sekolah, aku harus sudah membuka toko perabot, menata display yang berantakan ataupun membersihkan barang-barang dagangan agar tak berdebu.

 

Kalaupun aku telat bangun, seringkali aku juga telat datang ke sekolah. Aku harus lari-lari tiap berangkat sekolah hanya tak ingin pintu gerbang tertutup sebelum aku memasukinya.

 

Lelah? Pasti. Kadang aku juga tertidur di dalam kelas saat jam istirahat. Rasanya capek sekali. Akupun hanya bisa menangis dalam diam saat tak sengaja kudengar teman-teman menceritakan keseruan mereka jalan-jalan minggu kemarin. Ataupun saat mereka menghadiri acara ulangtahun salah satu diantara mereka.

 

Saat itu, aku lebih sering pura-pura tidur. Meski sejatinya aku mendengar jelas apapun yang mereka ceritakan. Termasuk saat mereka tiba-tiba membicarakan aku dengan suara perlahan.

 

Siapa yang tak ingin seperti mereka? Menikmati masa-masa sekolah dengan dekapan orangtua dan hati riang gembira. Siapa yang tak ingin seerti mereka? Penuh canda tawa tanpa beban dan air mata. Siapa yang tak ingin seperti mereka? Yang sering jalan-jalan bersama saat hari libur atau makan di warung bakso bersama saat pulang sekolah.

 

Aku juga ingin. Tapi tak pernah bisa. Waktuku tak sebebas itu. Aku seringkali menolak ajakan teman-temanku untuk sekedar jalan-jalan ke pasar atau ke toko buku saat hari libur tiba. Aku seringkali menolak ajakan teman-teman saat ada acara kumpul-kumpul ataupun perayaan ulang tahun. Aku seringkali menolak saat ditagih teman untuk merayakan ulang tahunku dengan mentraktir mereka di warung bakso atau mie ayam sepulang sekolah.

 

Bagaimana mungkin aku bisa? Selain aku tak ingin telat pulang, uang sakukupun terlalu minim untuk hal-hal semacam itu. Aku harus menabung untuk bayar SPP ataupun bayar buku-buku sekolah.

Aku harus menghemat. Bahkan aku jarang sekali ke kantin. Aku selalu membawa bekal dari rumah. Hingga akhirnya mereka tak pernah lagi mengajakku. Mereka tak pernah lagi menawariku apapun itu.

 

Mereka seolah membiarkanku sendiri. Meski sudah kujelaskan berulangkali bagaimana posisiku, seolah mereka tak menerima penjelasan itu. Hanya tersenyum kecut, saling pandang satu sama lain dan mengangguk serempak. Pura-pura memaklumi, padahal tidak sama sekali.

 

Sebenarnya aku takut jika tak memiliki teman. Aku takut dikucilkan. Namun apa daya, aku tak mampu seperti mereka. Hingga akhirnya aku pasrah jika mereka tak mau berteman denganku lagi.

 

Kisah sekolah menengah pertama dan menengah atasku hampir sama. Dibiarkan sendirian dengan segala rutinitasku yang mungkin tak seperti teman-teman kebanyakan. Hingga akhirnya aku memang dikucilkan. Seringkali tak memiliki keberanian apapun saat ada yang sengaja mengejekku. Aku hanya menangis dalam diam. sendirian.

 

Meski aku satu sekolah dengan Mbak Sari. Namun dia tak pernah mau mengajakku ngobrol. Dia tak peduli. Bahkan saat beberapa teman sengaja membully. Dia bilang tak mau ikut campur urusanku apapun itu.

 

Saat jam istirahatpun teman-teman tak lagi mengajakku ke kantin. Karena memang tiap hari aku membawa bekal. Jika ada jam kosong, seringkali kuhabiskan waktuku di perpus untuk membaca buku.

Awalnya aku ingin sekali berontak, namun lagi-lagi aku tak memiliki kekuatan untuk melakukan itu. Hingga akhirnya aku sudah sangat terbiasa sendiri. Sudah terbiasa tak memiliki teman untuk sekedar berbagi. Sudah terbiasa mengobrol dan bercerita dengan buku diary.

 

Kuseka bulir-bulir kecil yang menetes dari kedua sudut mataku. Sudah 4 tahun lalu sejak aku lulus sekolah menengah atas, namun kenangan pahit itu tak pernah mampu kutanggalkan. Masih begitu melekat di hati. Sesak itu. Sakit hati itu. Luka itu. Belum juga terobati hingga detik ini.

 

“Assalamu’alaikum Budhe Nur… maaf mengganggu. Dek Bayunya ada budhe?” tanyaku sembari tersenyum saat kulihat Budhe Nur sibuk menjemur pakaian di samping rumahnya.

 

“Eh Nak Lia. Ada. Masih nonton tivi sepertinya. Budhe panggilkan dulu ya”

 

Aku hanya mengangguk kecil saat Budhe Nur pamit masuk ke dalam rumah. Tak berselang lama kulihat Bayu menghampiriku.

 

“Kenapa Mbak Lia?”

 

“Itu hlo Yu, Ibu minta tolong Bayu buat anterin ke puskesmas soalnya Rio demam." jawabku meyakinkan.

 

Bayu mengangguk cepat, kemudian mengambil kunci motornya dari dalam rumah.

 

“Ayo Mbak. Bareng sekalian. Masa jalan kaki.” Rio menawarkan dengan senyum lesung pipitnya.

 

“Ga usahlah Yu. Mbak Lia jalan kaki saja. Deket ini. Itung-itung olahraga pagi.”Jawabku kemudian.

 

“Waduh takut Mas Adit cemburu ya mbak?” guraunya lagi. Aku hanya tersenyum kecil menjawab keisengannya.

Sampai rumah, kulihat Ibu sudah siap. Mereka pamit untuk berangkat ke puskesmas. Aku kembali mengambil sapu, melanjutkan tugas yang belum selesai kukerjakan.

Dan Mbak Sari masih tetap di sana. Tak beranjak dari tempatnya semula. Entah apa yang dia kerjakan dengan gadgetnya.

“Lia.. bikinin mi rebus pakai telur dong. Laper aku iki,” perintahnya saat aku masuk ke dalam rumah.

“Lia mau mandi Mbak. Mau siap-siap juga nanti abis dzuhur mau berangkat ke pangkalan bis.”

“Halah kamu ini hlo disuruh bikinin mi paling nggak sampai 10 menit wae kok nggak mau.”

“Bukannya nggak mau Mbak. Hla Mbak Sari sendiri ngapain itu? Nggak sibuk to?”

“Apa kamu nggak lihat? Aku lagi vidcall ini sama temen kuliahku.”

“Masak sendiri ya Mbak. Vidcallnya lanjut nanti. Lia mau siap-siap dulu sebentar lagi azan.”

“Halah wong lagi seru-serunya kok disuruh matiin to Lia…

Kutinggalkan dia dengan segala ocehannya. Aku segera mengambil handuk dan menyalakan kran kamar mandi, supaya tak mendengar omelannya lagi.

Selesai mandi segera kubereskan tas hitamku. Ibu menitipkan nasi jagung goreng untuk Budhe Lasmi. Sesuai pesenannya kemarin siang.

 

“Kira-kira besok basi nggak ya Nduk nasi jagungnya?” tanya Ibu saat melihatku memasukkan nasi jagung goreng ke dalam kotak makanan.

“Semoga saja nggak basi Bu. Kalau basi yoweslah yang penting Lia sudah berusaha bawain pesenan Budhe.” Ibu mengangguk pelan.

Suara deru motor Ayah berhenti di depan rumah. Entah mengapa tiap kali akan bertemu dengannya, tiap itu juga jantungku berdegup kencang. Ibu ke luar untuk menyambutnya.

“Lia mana?” tanya laki-laki itu cepat.

“Lia ada di dapur Mas. Kenapa?” Ada nada khawatir dari pertanyaan Ibu.

“Lia! Aku menoleh cepat. Mata itu kembali menatapku tajam.

“Kamu ini kenapa to bikin masalah aja. Nggak kapok-kapoknya!"

“Maksudnya apa to Yah?”

“Halah pura-pura nggak tahu wae. Kamu sengaja numpahin air putih ke laptopnya Sari iya to?”

Mataku terbelalak tiba-tiba. Hatiku makin dag-dig-dug tak karuan.

“Maksud Ayah?”

“Masih ngelak juga. Sudah nggak mau dimintai tolong masakin mi rebus malah sengaja numpahin air putih di laptop. Maumu itu apa to Lia, heh?”

Aku kembali menunduk. Bola mataku kembali berkaca-kaca.

“Dari dulu kamu ini memang nggak suka kalau Sari kuliah to? Kamu masih nggak terima, iya? Iri kamu Lia?!”

Aku masih menunduk tanpa menjawab sepatah katapun. Ibu menarik pelan lengan kiriku.

“Mirah! Aku masih bicara sama Lia. Biar dia jadi anak tahu diri. Nggak ngelunjak!”

"Ayo jawab Lia! jangan diem aja kayak patung! Kamu iri iya to. Nggak pengen lihat Sari sarjana!”

“Lia seneng kok Yah, Mbak Sari sudah mau wisuda. Sudah mau jadi sarjana. Meski dulu Lia sempet pengen kuliah juga tapi Lia ikhlas mengalah demi Mbak Sari. Lia nggak apa-apa kerja buat bantu Ayah nguliahin Mbak Sari. Tapi kalau Lia difitnah ngerusakin laptop Mbak Sari, Lia nggak mau. Karena emang Lia nggak pernah ngelakuin itu”

Tiba-tiba tangan kekar itu menekan kedua pipiku kuat-kuat. Aku sampai melonjak kaget.

“Ngomong apa kamu, heh. Kamu mau bilang kalau Sari tukang bohong. Iya? Bilang saja kalau kamu memang iri. Kamu nggak pengen lihat Sari kerjanya lebih enak daripada kamu. Iya to! Makin hari kerjaanmu bikin masalah terus. Bikin tambah pusing kepalaku saja.”

“Kamu ini kenapa sih Mas? Selalu menyalahkan Lia. Apapun yang dia kerjakan selalu nggak bener di matamu. Kalau Lia bilang begitu, berarti ya memang dia nggak salah. Kalaupun air itu tumpah, mungkin dia nggak sengaja.”

Ibu ikut membelaku. Kulihat Mbak Sari berjalan santai ke arah kami.

“Belain aja terus. Emang anak kandungnya ya dibelainlah. Aku ini apa. Cuma anak tiri, ya to Yah. Selalu nggak bener di matanya. Pantes aja banyak orang bilang ibu tiri itu kejam. Kelihatannya aja baik, padahal hati sama lidahnya pedes juga.”

Aku dan Ibu hanya saling pandang. sama-sama istiqfar pelan. Oh Tuhan... kapan semua ini berakhir? Kalau bukan karena Ibu, rasanya aku malas sekali pulang kampung.

*****

*Ini fiksi campur true story ya, terinspirasi dari kisah seseorang. Semoga bisa diambil pelajaran darinya. 


Selengkapnya di KBM APP

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 5



Previous Post
Next Post

0 koment: