PART 3
Bus jurusan Solo ini melaju cukup cepat. Setelah sampai perempatan Monggot aku segera turun. Sang kondektur sudah teriak-teriak menyuruhku lebih cepat. Bus-bus di sini memang sudah terkenal agak awut-awutan saat dalam perjalanan. Entah karena kejar target atau memang sudah menjadi kebiasaan. Entahlah...
Aku tak terlalu peduli. Yang penting saat ini sudah turun dari bus itu dengan selamat, tanpa kekurangan suatu apapun. Tak seperti tiga bulan lalu saat aku mudik, kardus berisi oleh-olehku dilempar begitu saja di tepi jalan saat aku perlahan turun dari bus. Alhasil aneka keripik oleh-oleh dari Budhe Lasmi untuk ibu banyak sekali yang remuk. Menyebalkan!
Sejak aku sekolah menengah pertama, aku memang sangat dekat dengan Budhe Lasmi. Apalagi saat Dia mencarikanku pekerjaan paruh waktu itu. Aku sangat berhutang budi padanya. Karena berkat dia, aku bisa melanjutkan sekolah hingga lulus menengah atas.
Budhe Lasmi selalu menyemangatiku dan membantuku banyak hal, termasuk saat aku meminjam uang untuk membayar uang gedung saat aku duduk di kelas dua sekolah menengah atas waktu itu. Aku terpaksa berhutang, karena tabunganku belum cukup untuk membayarnya. Sedangkan sekolah memintaku melunasinya sebelum kenaikan kelas tiba.
Budhe Lasmi selalu bilang tak perlu melunasinya karena sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Namun aku selalu mecatat nominalnya. Karena bagiku, hutang harus tetap dibayar berapapun itu.
“Apa kubilang hah?! Sekolah itu mahal. Gak perlu berlagak jadi orang kaya! Pakai acara melanjutkan SMA pula. Sekarang minta bantuan ibumu untuk bayar uang gedung? Darimana ibumu dapet uang kalau bukan dariku?”
Kulihat sorot mata tajam seperti kilatan petir menyambar. Kemarahannya memuncak hanya karena aku mengeluh soal pembayaran uang gedung yang kurang limaratus ribu rupiah.
Selama ini aku tak pernah meminta apapun darinya. Sekolahpun aku biayai sendiri dengan bekerja paruh waktu. Uang seragampun aku bayar sendiri dari hasil membongkar celengan ayamku. Celengan yang aku isi sedikit demi sedikit sejak sekolah menengah pertama itu. Sebagian dari hasil dari pemberian para tetangga saat lebaran tiba atau pemberian Budhe Lasmi ketika dia pulang kampung.
Aku sangat berhemat soal uang, karena aku tahu Sekolah Menengah Atas membutuhkan banyak biaya jadi sebisa mungkin aku tidak merepotkan ibu apalagi ayah tiriku.
“Aku sudah bilang puluhan kali sampai capek mulutku. Tapi kamu tak pernah mau mendengar. Daripada sekolah buang-buang duit, lebihbaik kawin. Sudah beruntung ada yang melamarmu. Kenapa kamu tolak? Jangan sok jual mahal. Jangan sok cantik! Bikin malu keluarga!”
“Maafkan Lia, Yah. Tapi Lia nggak pernah bermaksud membuat Ayah dan Ibu malu. Lia…
Plakkkk!
Tak terasa air mataku meleleh. Kupegangi pipi kiriku yang sedikit perih. Sakitnya pipi ini tak melebihi sakit hatiku atas cacian dan umpatannya padaku.
“Dasar anak pembangkang. Menyesal aku sudah mengurusmu sejak piyik sampai sebesar ini. Gak ada balas budinya!”
“InsyaAllah nanti Lia akan kerja Yah. Untuk membantu Ayah dan Ibu melunasi hutang-hutang itu.”
“Kerja apa kamu? Sampai berapa tahun kamu bisa melunasi hutang Ayah itu, hah? 60 juta bukan uang yang sedikit. Belum lagi bunganya yang pasti akan selalu naik tiap bulannya. Kawin saja sama si Adit itu, semua ursan beres!”
“Lia belum siap menikah, Yah. Lia masih ingin sekolah dan kerja dulu. Apalagi Lia sudah kelas dua, sayang kalau tidak diselesaikan.”
“Buat apa sekolah kalau ujung-ujungnya juga di dapur. Buang-buang duit saja! Sudah jelas ada mutiara di depan mata, malah sibuk cari kerikil di tumpukan jerami. Kamu tahu to, siapa yang melamarmu tempo hari? Anak mantan lurah di desa kita. Banyak gadis di sini yang ingin jadi istrinya. Termasuk kakakmu. Eh malah kamu tolak lamarannya. Dasar anak gak tahu diuntung. Anak durhaka!”
“Sekali lagi Lia minta maaf Yah. Lia nggak pernah bermaksud menjadi anak pembangkang. Tapi…”
“Tapi apa hahh!”
Matanya kembali membulat. Telapak tangannya mengepal geram. Kulihat Mbah Kakung tergopoh-gopoh menghampiriku. Mungkin Mbah Kakung baru pulang dari rumah Pak RT. Tadi sempat bilang ada urusan dengan Pak Rohman.
“Kenapa lagi Gung? Sudah-sudah. Jangan marah-marah terus. Malu didengar tetangga”
“Persetan dengan omongan tetangga. Tahu apa mereka. Bisanya cuma tepuk tangan kalau kita susah.”
Ayah kembali menatapku dengan amarah memuncak. Mbah Kakung memelukku. Tak henti-hentinya dia menepuk pundakku pelan dan membelai kepalaku yang tertutup jilbab ungu.
“Tunggu dulu Pak. Agung belum selesai bicara sama Lia,” ucap Ayah cepat saat melihat Mbah Kakung menarik lenganku. Dia pasti akan mengajakku ke teras. Seperti biasanya saat Ayah kembali menghujaniku dengan amarahnya.
“Maafkan Lia, Yah. Lia nggak pernah bermaksud membuat malu keluarga ini. Tapi Yah.. Ayah pasti juga tahu kalau Mas Adit doyan minum minuman keras, apalagi saat ada orang hajatan di kampung kita. Dia juga terkenal gonta-ganti pacar. Orangtuanya saja sampai angkat tangan menghadapinya. Masa orang seperti itu mau dijadikan Imam?”
Aku mencoba membela diri, baru kali ini aku berani mengeluarkan isi hatiku. Karena aku tak ingin Ayah benar-benar menerima lamaran Mas Adit. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika aku menjadi istri laki-laki sepertinya. Sungguh, aku takut meski sekedar membayangkannya sekalipun.
Aku juga tak paham kenapa Mas Adit justru melamarku tempo hari. Padahal yang kutahu, mantan pacarnya cantik-cantik. Apalagi dia juga tahu kalau Mbak Sari menaruh hati padanya. Mbak Sari yang bersih, cantik dan seksi karena dia sering perawatan ke salon dan pakai skincare lumayan mahal, menurut kantongku.
Aku tak habis pikir kenapa dia malah memilihku untuk menjadi istrinya. Aku yang terlalu biasa saja, tubuh kurus kerempeng dengan pakaian yang nggak gaul seperti teman-teman seusiaku. Akupun tak cantik dan bersih seperti mantan-mantannya. Bahkan sampai sedewasa ini, aku belum pernah ke salon meski sekedar potong rambut. Rambutku biasa kupotong sendiri. Aku nggak mau saat potong rambut di salon, tiba-tiba ada laki-laki yang masuk. Karena selama ini, aku belum pernah menemukan salon khusus muslimah.
“Bodoh kamu! Ayah banyak hutang budi sama Pak Sapto. Hutang Ayah padanya juga banyak. Karena Pak Saptolah yang selalu membantu ayah membayar cicilan bank itu tiap bulan. Pak Sapto bilang akan menganggap lunas jika kamu mau menikah dengan Adit. Beliau berharap kamu bisa mengajak Adit berubah. Beliau sudah angkat tangan menghadapi anak satu-satunya itu.”
“Pak Sapto yang orangtua kandungnya aja kewalahan dan angkat tangan apalagi Lia, Yah…
“Diam kamu! Dasar bebal. Percuma aku ngomong panjang lebar. Sekarang terserah kamu. Mau nikah atau jadi perawan tua aku tak peduli. Yang pasti kalau tidak sama Adit, aku tak akan merestui pernikahanmu. Urusan uang gedungmu itu, pikir aja sendiri!”
Kulihat bola mata Ayah membulat. Kakek kembali menarik lenganku pelan.
“Istigfar banyak-banyak ya Nduk… Mbah Kakung yakin, kamu anak yang kuat. Kamu istimewa,” ucapnya lirih.
Aku kembali menunduk sembari melangkah ke kamar dengan isak yang tertahan. Ingin sekali aku mengadu pada ibu. Karena aku tak melihat Ibu sedari tadi. Mungkin Ibu belum pulang dari toko sembako dan bahan-bahan pertanian milik Ayah di desa sebelah.
Ingin sekali kucurahkan isi hatiku pada Ibu. Namun seringkali kutahan. Karena aku tak ingin membuat ibu semakin terluka. Aku tak ingin Ibu selalu menyalahkan dirinya atas semua luka ini. Aku tak boleh cengeng. Aku harus kuat. Itulah kata-kata yang seringkali kubisikkan sendiri.
Sengaja kututupi tubuhku dengan selimut doraemon pemberian Budhe Lasmi saat aku lulus sekolah menengah pertama kala itu saat kudengar pintu kamar diketuk pelan dari luar. Aku tahu Ibu masuk kamarku. Namun aku pura-pura tidur. Aku tak ingin melihat ibu jauh lebih terluka jika dia melihatku menangis. Lebihbaik kupendam sendiri lukaku ini. Biarlah aku tampak biasa-biasa saja di depannya.
Aku tahu sebenarnya Ibu juga menderita. Namun dia tak bisa berbuat banyak. Ibu selalu bilang padaku, akan tetap bertahan sampai kapanpun demi Satria, adik laki-lakiku. Ibu selalu bilang, Satria masih sangat membutuhkan sosok ayah.
Ibu juga bilang padaku, cukuplah Ibu melakukan kesalahan satu kali. Ibu tak ingin mengulanginya lagi. Ibu tak ingin Satria hidup seperti aku yang tak pernah mendapatkan perhatian dan cinta dari seorang ayah.
“Maafkan Ibumu yang penuh dosa ini ya Nduk.. Ibu sudah gagal menjadi ibu yang baik untukmu. Ibu yang gagal memberikan sosok ayah yang tanggungjawabuntukmu kedua kalinya. Ibu yang gagal karena tak pernah bisa membelamu di depan ayahmu. Maafkan Ibumu ini ya Nduk.. Tapi ibu selalu mendoakan kamu di setiap sujud Ibu. Ibu yakin kelak kamulah yang akan menganggat derajat Ibu. Kelak kamu akan sukses dan membanggakan orangtuamu,” Ibu membelai pelan jilbabku yang tak beraturan.
Kudengar Ibu makin terisak. Ingin sekali aku memeluknya, namun aku takut ibu makin terluka jika melihatku terjaga. Aku tahu, ibu selalu menyimpan air matanya jika di hadapanku. Ibu selalu menyimpan lukanya sendiri.
“Jangan pernah lelah mendoakan ayahmu ya Nduk.. DIAlah Sang Pembolak-balik hati. Semoga ayahmu bisa cepat berubah. Jikalaupun tak bisa menjadi sosok ayah yang bertanggungjawab lahir dan batin, setidaknya dia tak lagi menyakiti hatimu. Tak lagi mengeluarkan kata-kata kotor itu padamu. Kamu anak ibu yang terbaik Nduk. Kamu anak berbakti. Allah akan selalu melindungi anak solehah sepertimu”
Kurasakan ciuman Ibu di pipi kiriku. Pipikupun basah oleh air matanya. Oh Ibu…. Kapan aku bisa menyeka air matamu? Kapan aku bisa menciptakan pelangi dalam hidupmu? Kapan aku bisa membuatmu bangga dan bahagia memiliki anak sepertiku? Kapan aku bisa membuktikan pada laki-laki itu kalau aku bukanlah anak pembawa sial, bukan anak tak tahu diuntung, bukan pula anak tak tahu diri…
Buru-buru kuseka air mataku yang akan menetes. Aku masih memunggungi ibu yang masih duduk di tepi ranjangku. Ibu membenarkan letak selimutku perlahan, kemudian melangkah pergi.
Pintu kamarku kembali ditutup rapat. Dadaku terasa sangat sesak. Tak kuat lagi kubendung air mataku. Kubiarkan bendungan itu jebol membasahi jilbabku yang masih berantakan. Kugigit selimutku kuat-kuat. Ingin rasanya aku teriak sekencang-kencangnya. Namun tak pernah bisa. Selalu kusimpan tangisku dalam diam. Hingga detik ini.


0 koment: