Senin, 24 Oktober 2022

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 2


 PART 2

Kudengar suara cukup gaduh. Perlahan kubuka mata. Ibu muda di sebelahkupun sudah mulai membereskan barang-barang dan mainan anaknya yang agak berantakan.

 

“Rumahnya dimana Dek?” pertanyaan Sang ibu membuyarkan sedikit lamunanku.

“Saya Geyer, Bu…” Jawabku sembari tersenyum kecil.

 

“Oh lumayan jauh ya Dek. Ibu cuma deket pasar sini aja. Ayo beres-beres. Sebentar lagi bus masuk terminal,” ucapnya lagi sembari menggendong anak perempuannya yang kutaksir masih di bawah tiga tahun.

“Nggeh Bu…” jawabku kemudian.

 

Aku ikut sibuk membereskan camilanku yang masih banyak dan novel kesayanganku yang belum rampung aku baca. Kebiasanku dari dulu saat di dalam bus adalah ngemil atau baca buku. Kalau tidak, aku biasanya akan mual. Kalau malas ngemil dan baca biasanya aku molor.

 

Ya begitulah. Aku tak terbiasa ngobrol panjang lebar dengan teman sebangku. Entahlah, memang aku tipe orang yang pendiam. Aku lebih senang menjadi pendengar daripada pendongeng. Mungkin karena itulah teman-temanku menjadikan aku tempat curhat.

 

Sesekali kasih nasehat meski seringkali tak didengar. Aku sungkan kalau harus basa-basi duluan. Tapi seringnya kalau sudah diajak ngobrol dan nyambung, aku sering kebablasan. Jiwa pendiamku tinggal kenangan. Hehee…

 

Suasana di luar bus masih cukup sepi dan sejuk karena belum terlalu ramai lalu lalang kendaraan. Tulisan besar di pintu masuk Terminal Purwodadi sudah terlihat di depan mata. Para penumpang sibuk dengan tas ataupun koper mereka. Tak lupa kardus-kardus besar entah apa isinya. Seolah menjadi ciri khas pemudik. 

 

Aku tak ingat jam berapa mulai terlelap lagi. Yang jelas setelah istirahat sebentar untuk sholat subuh tadi, bus kembali melaju. Setelah bus berhenti, semua penumpang antri untuk turun dari bus, termasuk aku. Aku sengaja turun belakangan karena tak mau berdesak-desakan.

 

“Dek, Ibu turun duluan ya,” pamit Ibu muda di sampingku. Aku mengangguk pelan sembari tersenyum.

 

Jarum jam menunjuk angka 6 lebih 30 menit saat aku menunggu bus lagi untuk mengantarkanku ke Geyer. Geyer adalah salah satu kecamatan di kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tempat aku dilahirkan dan dibesarkan penuh cinta oleh ibu dan kakekku. Sebelum akhirnya badai itu datang dalam hidupku.

 

Aku tinggal di sebuah desa yang agak jauh dari hingar-bingar kota. Desa yang sangat sejuk dan asri. Banyak pohon jati dan mahoni yang tumbuh di desaku. Bahkan jalan menuju desaku ini masih ada hutan yang penuh dengan pohon jati yang begitu rimbun. Jika malam tanpa pencahayaan memadai kecuali kerlip sang rembulan ataupun kedipan bintang di langit.

 

Seperti itulah… sebuah desa di mana begitu banyak menyimpan kenangan. Kenangan bersama Mbah kakung, satu-satunya laki-laki yang selalu menumpahkan cintanya untukku. Cucu pertamanya. Masih jelas kuingat semua nasehat-nasehatnya sebelum aku pergi merantau pertama kali, 4 tahun yang lalu.

 

“Jakarta kotanya ramai Ndok. Kamu harus bisa jaga diri. Apalagi kamu sendirian di sana. Gak ada sanak saudara.”

 

“Ada Budhe Lasmi, Kung…” jawabku membesarkan hatinya. Aku tak ingin Mbah Kakung terlalu mengkhawatirkanku.

 

“Lasmi kan kerja sama orang. Gak mungkin juga bisa mengawasi kamu setiap waktu” kata Mbah kakung lagi.

 

“Jangan terlalu mengkhawatirkan Lia, Kung. InsyaAllah Lia bisa jaga diri. Lia akan selalu ingat pesan-pesan Mbah Kakung. Yang paling penting Mbah Kakung jangan minum teh manis banyak-banyak. Nanti bisa makin parah sakitnya” Kucium kedua pipi keriputnya.

Kulihat Kakung sedikit terkekeh. Tampak giginya yang hanya tinggal berapa biji. Mbah kakungku memang sakit diabetes. Beliau tak suka minum air putih. Setiap hari minum teh manis dengan gelas jumbo andalannya. 

 

Suara itu kembali kudengar. Omelan itu....

 

"Orang-orang yang dari Jakarta biasa sampai rumah jam 6 atau jam 7 pagi. Ini sudah jam 7 lewat kamu belum juga nongol. Jangan keluyuran! Urusin dulu biaya pemakaman Mbahmu."

 

"Maaf Yah... kemarin bisnya telat berangkat. Ini Lia juga sudah naik bis jurusan Solo kok Yah. Tapi masih nge-tem di simpang lima" jawabku pelan. Berharap Ayah menerima penjelasanku.

 

"Halahhh.. banyak alasan. Kamunya saja yang lelet, pakai alasan bisnya telat berangkat"

 

Mataku kembali berkaca-kaca. Hatiku dag-dig-dug tak karuan. Kutahan air mataku agar tak jatuh.

 

Bis yang kutumpangi masih saja nge-tem di simpang lima Purwodadi. Yang jelas, memang kebiasaan bus ini nge-tem di sini puluhan menit, sebelum bus lainnya datang menyusul.

 

"Cepetan pulang. Inget, jangan keluyuran!"

 

Sambungan telfon putus sepihak. Ayah yang memutuskannya. Kuhembuskan napas pelan. Mulai detik ini, aku memang  harus mempersiapkan diri dan hati untuk kembali menerima caciannya kembali. 

 

***************

Selengkapnya di KBM APP



Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 2


Previous Post
Next Post

0 koment: