(Terinspirasi dari kisah seseorang)
PART 1
Orang bilang kebanyakan ibu tiri itu sangat kejam. Dia tak bisa menerima anak tirinya sepenuh hati. Seolah hanya mau menerima cinta ayahnya tapi tak ingin mengurus anaknya. Bahkan banyak sekali sinetron yang menayangkan kekejaman ibu tiri. Namun sedikit kutemui judul sinetron yang mengisahkan tentang kekejaman ayah tiri. Padahal yang kurasakan justru sebaliknya.
Ibuku terlalu baik pada anak tirinya. Mbak Sari, anak pertama ayah dari perkawinannya dengan istri pertama. Meski aku memanggilnya Mbak, namun usia kami tak jauh berbeda. Hanya terpaut kurang lebih empat bulan lebih tua dariku.
Pada anak tirinya, Ibuku tak pernah membentak, tak pernah melontarkan kata-kata pahit apalagi menyakiti fisik dan batinnya. Jikalaupun Mbak sari menolak perintah ibu, Ibu tak pernah sekalipun marah. Ibu hanya istigfar pelan dan menyuruhku menggantikan tugasnya. Selalu begitu selama hampir tujuh tahun lamanya. Sejak kami sama-sama duduk di kelas empat sekolah dasar hingga kami duduk di bangku sekolah menengah atas. Dan sejak itupun aku selalu mengalah, aku tak ingin menyakiti hati ibu lebih dalam.
Aku tahu ibu terluka, karena tak pernah dianggap ada oleh anak tirinya. Namun Ibu hanya diam. Tak pernah sekalipun mengeluh atau menceritakan sakitnya itu pada ayah. Akupun tak pernah bertanya kenapa ibu tak memaksanya. Kenapa Ibu tak memarahinya. Atau kenapa ibu hanya diam dan pergi saat mbak sari menolak mentah-mentah perintahnya.
Yah, aku sudah tahu jawabannya. Ibu terlalu menghormati ayah. Ibu tak ingin ayah marah seperti waktu itu. Ayah marah besar hanya karena ibu memaksa Mbak sari bangun pagi untuk sholat subuh. Ayah bilang gak perlu dipaksa, nanti kalau sudah dewasa akan tahu sendiri apa kewajibannya. Ayah dan ibu memang berbeda jalur dalam mendidik anak-anaknya.
Sejak saat itu, ibu tak pernah memaksa Mbak sari. Apalagi berulangkali ayah bilang, ingin selalu memanjakan Mbak sari. Dia tak ingin melihat Mbak sari menangis apalagi menyesali hidupnya. Dia tak ingin melihat Mbak sari kembali terpuruk dan mengingat kematian ibunya yang tragis. Oleh sebab itulah ayah berusaha menjaga hati Mbak sari agar selalu bahagia. Ayah selalu menuruti kemauan Mbak sari. Meski terkadang kemauannya itu melukai hatiku.
Kebanyakan orang bilang, semua masalah hidupku terjadi karena kekeliruanku sendiri. Mereka bilang, aku salah memilih ayah pengganti. Mereka bilang, aku terlalu cepat menerima dia sebagai pendamping ibuku. Padahal ibu berulangkali bertanya padaku kala itu apakah aku yakin.
Ah… bocah sembilan tahun mana bisa berpikir panjang. Yang mereka tahu, kebahagian nyata saat itu. Tak pernah ada pikiran-pikiran buruk ataupun kata seandainya dalam hatinya. Yang jelas, terlalu mudah untuk merayu dan mengambil hati bocah seusia itu.
Orang-orang tak pernah tahu, bagaimana senangnya hatiku saat ada laki-laki yang dekat dengan ibu. Laki-laki yang selalu datang dengan kado-kado istimewa di tangannya hanya untukku. Selalu membawakan makanan-makanan kesukaanku. Seringkali mengajakku jalan-jalan ke kota dan membeli mainan baru.
Mereka tak paham, bagaimana senangnya aku mendapatkan kasih sayang seorang laki-laki yang nantinya bisa kusebut ayah. Kasih sayang yang tak pernah aku rasakan sepanjang hidupku.
Mereka tak akan pernah mengerti bagaimana tersiksanya aku, saat kulihat teman-temanku diantar jemput sekolah oleh ayah-ayah mereka. Ataupun saat kulihat mereka mencium punggung tangan ayah-ayah mereka sebelum masuk kelas.
Mereka tak tahu bagaimana aku harus berusaha menahan air mataku agar tak tumpah saat teman-temanku menceritakan kehebatan ayah mereka. Saat menceritakan cinta kasih ayah-ayah mereka.
Orang-orang itu tak akan paham, bagaimana perasaanku saat kulihat teman-temanku diajak ayah mereka membeli sepeda baru.
Mereka tak akan pernah paham bagaimana isi hatiku, betapa bangganya aku mendapatkan kasih sayangnya kala itu. Hingga akhirnya aku bisa menceritakan pada teman-temanku bagaimana calon ayahku. Mereka semua antusias mendengarkan. Karena baru pertama kali aku menceritakan sosok calon ayah pada mereka. Mereka menjabat tanganku erat dan mengucapkan selamat. Ucapan selamat yang kemudian hanya menjadi awal kemalangan hidupku.
“Sudah kubilang kau tak perlu masuk SMP Lia! Masih ngeyel pula. Tak sudi aku membiayaimu sekolah mahal-mahal. Biarkan Sari saja yang sekolah. Kamu cukup lulus SD dan kerja. Lebihbaik cari duit daripada buang-buang duit.” kulihat mata ayah memerah menatapku. Air mataku luruh seketika.
Entah sudah berapakali dia membentakku. Dia memang jarang melukai fisikku, hanya beberapa kali menampar pipiku saat kemarahannya memuncak. Salah satunya saat aku tak sengaja memecahkan jam tangan hello kitty kesayangan Mbak Sari. Meski jarang melukai fisikku, namun hampir setiap hari dia selalu melukai hatiku.
Sebenarnya aku sudah tak sanggup dan ingin sekali pergi dari rumah ini, namun lagi-lagi aku terlalu menyayangi ibu, kakek dan adik laki-lakiku. Adik satu-satunya dari pernikahan ibu dan ayah tiriku.
Tiap kali aku meminta ibu untuk melanjutkan sekolah, tiap itu juga ayah marah. Aku tak tahu kenapa laki-laki yang harusnya kusebut ayah itu begitu membenciku. Seolah begitu jijik melihatku.
Ayah selalu memakiku dengan sebutan anak bandel, tak tahu diri. Padahal aku bukan anak pembangkang. Aku tak pernah membantah perintahnya. Aku selalu patuh dan menuruti kemauannya. Namun apapun yang kulakukan, seolah selalu salah di matanya. Dia tetap tak terima. Dia tetap sering memaki. Dan dia tetap membenci. Sikapnya benar-benar berubah, sejak kulihat dia dan ibu menggenggam surat nikah waktu itu.
“Mau kau suruh kerja apa Lia kalau hanya lulus SD, Gung? Aku ingin Lia sekolah sampai sarjana. Mengangkat derajat orangtuanya. Menjadi anak yang sukses dunia dan akhirat. Dan….” belum selesai Mbah kakung mengeluarkan isi hatinya, kudengar suara gebrakan meja. Vas bunga di atas meja itu jatuh berantakan di lantai.
Kupeluk tubuh Mbah kakung yang mengeriput. Kulihat dia mengelus dada. Kemudian menepuk-nepuk bahuku perlahan.
“Memangnya bapak mau membiayai Lia sekolah? SMP itu biayanya mahal Pak. Apalagi harus membiayai dua orang sekaligus. Darimana biayanya! Toko sembakoku sudah ludes dilahap api sialan itu. Hutang di bank untuk modal belum juga lunas. Harusnya kalian bersyukur masih bisa makan dan tidur nyenyak di rumah ini. Jangan ngelunjak. Dikasih hati minta jantung juga!”
Mbah kakung menarik lenganku ke teras rumah. Bola matanya berkaca-kaca. Dia terus merangkulku untuk menenangkan. Padahal sejatinya aku tahu, justru hati Mbah kakunglah yang jauh lebih tak tenang. Hati Mbah Kakunglah yang jauh lebih terluka.
Aku masih menahan isakku. Aku tak ingin Mbah kakung lebih terluka jika melihatku menitikkan air mata.
Kulihat Ibu bersandar di sofa ruang tamu sembari mengASIhi adikku yang belum genap dua tahun. Ibu hanya diam. Pandangannya kosong menatap ke luar rumah. Kudengar pintu kamar terbuka. Mbak sari berjalan ke arah ayah yang masih sibuk dengan rokoknya.
“Nggak capek yah? Tiap hari marah-marah? Sudahlah yah, lebihbaik cerai saja. Biarkan mereka keluar dari rumah ini. Gara-gara ayah nikah lagi semua usaha ayah bangkrut. Hutang makin menumpuk. Bahkan sekarang, Sari sudah tak bisa beli baju-baju kekinian lagi. Bosen yah pakai baju itu-itu terus…” celoteh Mbak sari terdengar cukup keras di telingaku. Atau mungkin sengaja diperkeras? Entahlah… usianya memang baru 12 tahun. Tapi kata-kata yang dia ucapkan seringkali sudah seperti berusia duapuluh tahunan. Sadis dan menyakitkan.
“Pulang dulu ya Nduk. Mbah kakung sedo,” sms dari ibu dua jam yang lalu kembali kubaca. Entah sudah berapa kali aku membaca sms itu.
Sungguh, aku masih tak percaya dan tak rela jika secepat ini Mbah kakung meninggalkanku. Aku masih tak percaya jika pada akhirnya Mbah kakung benar-benar pergi. Dan aku harus bisa menata hati dan siap menerima deretan caci maki itu sendiri.
Mataku kembali berkaca-kaca. Mengingat Alm mbah kakung yang begitu menyayangiku. Dia yang begitu memanjakanku dengan caranya yang sederhana.
Sejak aku kecil, belum pernah sekalipun Mbah kakung membentakku. Seusil dan sebandel apapun aku. Mbah kakung selalu tersenyum dan membelai rambutku pelan.
Mbah kakung selalu bilang,”Jadi anak sholehah ya Nduk… patuh sama ibumu. Dia sudah berjuang sekuat tenaga untuk membesarkanmu.”
Air mataku kembali mengalir deras, mengiringi laju bus yang aku tumpangi detik ini.
Aku belum siap jika Mbah kakung pergi hari ini. Aku belum siap menerima kembali caci maki dari laki-laki itu lagi. Aku belum siap menyimpan semua sumpah serapahnya sendirian. Aku masih sangat membutuhkan Mbah kakung dalam hidupku.
Selama ini, tak ada seorangpun yang membelaku dari cacian laki-laki itu kecuali Mbah Kakung. Bahkan Ibupun hanya menangis dalam diam saat kata-kata buruk laki-laki itu menusuk tajam ulu hatiku. Ibu hanya diam, tak membelaku pun tak membelanya. Seolah ibu sudah mati rasa. Tak tahu bagaimana caranya menghiburku ataupun menghentikan mulut suaminya yang kotor itu.
***
Selengkapnya di KBM APP
![]() |
Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri part 1 |
0 koment: