Senin, 24 Oktober 2022

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 8


 Part 8 CERAI?

[Assalamualaikum. Hai Lia gimana kabarmu?]

 

Ada sebuah chat masuk ke aplikasi hijauku. Tak ada foto profilnya. Kulihat dia masih online. Hanya kubaca tanpa kubalas.

 

Aku tak tahu siapa dia dan tak ingin cari tahu juga. Meski sedikit penasaran darimana dia tahu namaku. Padahal aku bukan selebritis bukan pula onlenshop yang seringkali pajang nomor hape di profil medsosnya.

 

Kulanjutkan nyetrika sambil menonton film bollywood kesukaanku. Tak berselang lama, hapeku kembali berbunyi.

 

[Sibuk ya? Maaf kalau mengganggu]

 

Aku hanya membacanya kembali. Tanpa membalas. Kulihat dia masih sibuk mengetik, entah apa yang akan dikatakannya lagi.

 

Kutata setumpuk baju ke dalam lemari plastik di sudut kamar kostku. Gita mengetuk pintu sambil ngoceh nggak jelas.

 

"Ngapain sih berisik amat?" tanyaku saat kulihat Gita di depan pintu sambil menjepit henpon di pundaknya.

 

"Cilok"

 

Dia memberiku sebungkus cilok yang masih hangat. Sepertinya dia baru pulang main. Lalu pamit untuk masuk ke kamarnya.

 

Hari minggu seperti ini memang biasanya kost sepi. Teman-teman kost asyik liburan atau sekedar makan keluar bersama pasangannya masing-masing.

 

Tidak sepertiku. Yang selalu sibuk dengan setumpuk cucian atau setrikaan. Lagipula aku memang kurang suka jalan-jalan. Apalagi aku memang nggak punya pasangan. Tepatnya malas dan nggak mau pacaran. Aku lebih seneng baca novel atau lihat Instagram sambil tiduran di kost setelah urusan pergombalan kelar.

 

Kubuka aplikasi hijau bergambar gagang telfon lagi.

 

[Ohya maaf kalau lancang karena sudah minta nomor henponmu tanpa persetujuanmu dulu]

 

Lagi-lagi chat darinya. Entah siapa. Dia masih online. Sengaja aku baca saja tanpa membalas. Aku ingin dia menjelaskan sendiri siapa dirinya tanpa harus kutanya.

 

Azan dhzuhur menggema. Kuambil wudhu dan menjalankan perintahnya. Kulipat sajadah coklat dan masukkannya kembali ke dalam lemari.

 

Henponku berdering tanda panggilan masuk. Kukira pengirim chat misterius itu, ternyata bukan.

 

Nama Ibu muncul di layar. Segera kupencet tombol yes untuk menerima panggilannya.

 

"Assalamualaikum Lia" salam Ibu dengan nada gemetar.

 

"Kenapa Bu? Ada masalah apa?"

 

"Maafkan Ibu ya Nduk. Kalau Ibu selalu merepotkan Lia"

 

"Kok Ibu ngomong gitu? Ibu nggak pernah merepotkan Lia. Memangnya ada masalah apa Bu?" tanyaku lagi. Kudengar Ibu menghembuskan nafas pelan.

 

"Maaf Nduk, apa Lia masih punya tabungan?"

 

Aku diam sejenak. Aku memang sudah tak memiliki tabungan sedikitpun. Sisa 100ribu untukku sampai akhir bulan. Kadang aku berpuasa Senin-Kamis. Selain berpahala juga untuk mengurangi pengeluaran.

 

"Tabungan yang untuk haji Mbah Kakung itu masih ada to Nduk?" tanya Ibu cepat.

 

Aku ingat, tabungan itu memang masih ada. Aku tak pernah memakainya.

 

Dulu rencananya memang untuk haji Mbah Kakung, namun karena Mbah sudah pergi, aku berencana untuk menyerahkannya ke panti asuhan atas nama Mbah Kakung saja. Supaya  bisa untuk tabungan amal Mbah Kakung  di sana.

 

"Lia... panggilan ibu kembali mengagetkanku.

 

"Masih Bu. Memang mau buat apa?" tanyaku lirih.

 

"Ada berapa Nduk? Ayahmu telat bayar bank 3 kali, kemarin petugasnya datang. Kalau bulan ini nggak sanggup bayar lagi, rumah ini yang jadi jaminannya akan dilelang. Entah itu cuma gertakan atau beneran ibu nggak tahu. Tapi Ibu takut kalau beneran dilelang dan terjual. Ibu dan adikmu mau tinggal di mana?"

 

Kudengar tangis Ibu. Aku tahu kekhawatiran dan ketakutan Ibu saat ini.

 

"Ibu bisa Lia jemput. Kita tinggal di sini bersama Bu..."

 

Dari nada bicaranya Ibu agak kaget mendengar jawabanku. Mungkin tak menyangka aku akan mengatakan itu.

 

"Maksudmu piye Nduk?"

 

"Lia akan menjemput Ibu dan Satria ke sini" jawabku lagi, meyakinkan.

 

Entah keberanian darimana aku bisa mengatakan itu pada Ibu.

 

"Maksudmu, kamu minta ibu untuk pisah sama Ayahmu?" tanya Ibu dengan sedikit gemetar.

 

Aku hanya diam. Tidak membenarkan dan tidak menyalahkan.

 

"Sudahlah Nduk. Jangan ngomongin soal cerai. Ibu takut. Kalau Ayahmu dengar, Ibu pasti sudah dihajar"

 

Aku tak menjawab. Kembali diam dan mendengarkan suara Ibu.

 

"Apa tabunganmu itu masih ada? Kalau masih biar Ayahmu pinjam dulu buat lunasi tunggakan itu. Tiap hari dia marah-marah nggak jelas. Bahkan Satria juga kena omelannya. Ibu tak tega kalau Ayahmu mulai membentak-bentak dia. Satria masih terlalu kecil. Tak tahu beban orangtuanya"

 

Ibu kembali menjelaskan panjang lebar.

 

"Masih Bu. Ada 9,5 juta. Masih di ATM karena Lia juga nggak pernah otak-atik. Rencananya mau Lia serahkan ke panti asuhan, tapi..."

 

"Tapi kenapa Nduk?"

 

"Nunggu genap 10 juta dulu, Bu. Tapi kalau Ibu butuh, Lia transfer ke Ibu saja. InsyaAllah Mbah Kakung juga ridho kalau memang Ibu lebih membutuhkannya"

 

Tangis Ibu kembali pecah. Air matakupun menengalir tiba-tiba. Mengingat Mbah Kakung yang sudah bahagia di sana. Mengingat Ibu dan Satria yang mungkin saat ini menjadi sasaran utama kemarahan Ayah.

 

"Maafin Ibu ya Nduk... Maafin Mirah ya Pak.... "

 

Suara Ibu dengan tangisnya terdengar jelas di telingaku. Tak berselang lama kudengar deru motor Ayah berhenti. Ingin rasanya segera kututup telfon ini, tapi tak tega. Sepertinya Ibu masih ingin meneruskan obrolannya.

 

"Kira-kira Ibu butuh berapa?" tanyaku kemudian.

 

"Siapa Mirah? Lia to?" teriak laki-laki itu. Sebelum mengiyakan, henpon Ibu sudah beralih ke tangannya.

 

"Kamu masih punya tabungan kan Lia? Cepet transfer 6 juta kalau kamu masih ingin Ibu dan Satria tidur nyenyak di rumah ini"

 

Kata-kata Ayah memang pedas. Seolah hanya Ibu dan Satria yang membutuhkan tempat tinggal. Mungkin dia ingin tinggal di lubang semut kalau rumah itu beneran dilelang dan terjual.

 

"Biarin aja dilelang. Lia akan jemput Ibu dan Satria ke sini"

 

Entah keberanian darimana tiba-tiba aku begitu lancar mengucapkannya. Ayah terdengar sangat kaget.

 

"Maksudmu opo heh!? Anak sialan! Dasar nggak tahu diri. Nggak punya rasa terima kasih. Giliran aku bangkrut enak saja kau mau ke jemput Ibu dan adikmu heh!" bentaknya lagi.

 

Kudengar Ayah dan Ibu sedikit ribut.

 

"Sampai kapanpun nggak akan kuceraikan Ibumu! Giliran susah kalian mau angkat kaki dari rumah ini?!"

 

Kudengar dari suaranya Ayah benar-benar murka.

 

"Siapa yang ngajarin anak sialan itu? Pasti kamu to Mirah! Bukannya balas budi sudah dibesarkan malah ngelunjak dia. Begitu kalau keturunan preman. Otaknya nggak pernah dipakai buat mikir!"

 

Sakit hati rasanya laki-laki itu mengungkit asal-usulku lagi. Kesekian kalinya.

 

"Daripada selalu makan hati lebih baik cerai saja Bu...."

 

Tangisku pecah. Kudengar Ayah  mengeluarkan sumpah serapahnya sebelum akhirnya membanting henpon jadul Ibu.

 Selengkapnya di KBM APP

Kupatahkan Kedzaliman Ayah Tiri Part 8


***


Previous Post
Next Post

0 koment: