{Banyak anak belum tentu bisa merawat satu orang ibu}
Pov : Mas Oky
|Mas, boleh pinjam uang seratus ribu saja? Aku ingin membelikan ibu daster baru. Daster lamanya sudah banyak yang sobek. Nanti kalau Mas Adam sudah gajian, InsyaAllah aku kembalikan|
Aku hanya membaca sekilas pesan yang dikirimkan Rima tempo hari kemudian menghapus jejaknya di whatsapp. Dia dan Adam suaminya memang selalu begitu, tak pernah berhenti bergantung pada hidupku. Berbeda dengan Diana yang lebih mandiri, punya pekerjaan oke dan kehidupan yang mapan. Sementara Rima adik bungsuku itu memiliki kehidupan yang berbanding 180 derajat dibandingkan aku dan Diana.
Pekerjaannya hanya sebagai guru honorer dengan gaji nggak seberapa sedangkan suaminya hanya sebagai kuli bangunan dengan gaji mingguan. Yang pasti tak banyak sehari mungkin hanya seratus ribuan saja. Jauh berbeda dibandingkan aku yang bisa empat kali lipatnya.
|Kalau memang nggak ada, ya nggak apa-apa, Mas. Nanti aku pinjam ke yang lain saja|
Lagi-lagi aku tak membalas pesan yang dikirimkan Rima itu, detik ini hanya kuhapus saja. Bosan. Intinya begitu. Dia menghubungiku pasti ada maunya, entah butuh duit atau minta tolong yang lain terutama soal ibu. Seharusnya sebagai anak bungsu Rima sadar diri jika kewajibannya saat ini memang merawat ibu.
Lagipula dia tinggal gratis di rumah orang tua, tak ngontrak seperti aku dan Diana dulu sebelum punya rumah sendiri. Tapi apa? Tetap saja dia nggak bisa menabung, dengan alasan untuk berobat ibu lah, untuk belikan ibu jilbab baru lah, daster baru atau lainnya, yang kupikir hanya sebuah alasan semata.
Hari ini aku sangat capek, namun cukup membahagiakan karena bisa memanjakan dua jagoanku dan juga mamanya dengan berlibur bersama hingga akhirnya kami pulang dengan badan tapi puas. Puas seharian jalan-jalan, makan dan shopping mensyukuri semua nikmat yang DIA beri terutama soal rejeki, karena besok kembali pulang dan sibuk dengan rutinitas harian.
"Mas, adik bungsumu itu ribet banget. Telepon aku terus-terusan cuma nyuruh kita main ke rumah. Alasannya sih jenguk ibu, tapi aku yakin nanti ujung-ujungnya dia bujuk ibu supaya pinjam duit sama kita," ucap Risa di tengah kesibukannya menyoba tas baru.
"Dia juga telepon aku entah berapa kali dalam sehari ini. Nggak aku angkat males. Sudah kuangkat sekali kalau aku lagi sibuk, ada promosi jabatan yang mengharuskan aku ontime dan lebih giat kerja, tapi dia selalu membuat moodku berantakan. Bilang ibu sakit dan ingin bertemu. Harusnya dia sudah hafal, ibu memang sering sakit, kan? Tapi biasanya dikasih obat warung juga sembuh. Tapi ini pakai ngerayu-ngerayu segala agar datang," ucapku pada Risa istriku yang juga bukan sekadar ibu rumah tangga biasa. Dia memiliki butik cukup besar di samping taman kota, hampir setiap hari dia habiskan waktu di butiknya jika kedua anakku sekolah.
"Benar, Mas. Ibu memang sering sakit, paling hipertensinya kambuh lagi. Mungkin karena capek atau banyak pikiran. Dibawa istirahat dan minum obat juga sembuh. Biasanya juga begitu, tapi Rima terlalu ketakutan bahkan dia bilang sama aku kalau sakit ibu kali ini tak biasa."
Kuhembuskan napas panjang lalu mengiyakan pendapat Risa. Kali ini Rima memang terlalu mengada-ngada soal sakit ibu. Mungkin berharap aku cepat datang dan meminjaminya uang. Aku tahu dia lagi butuh uang untuk membayar hutang di warung tiap akhir bulan begini.
"Kemarin dia juga mau pinjam uang seratus lima puluh ribu, Mas. Waktu kita lagi kids land," ucap Risa membuatku sedikit terkejut.
"Buat apa?" tanyaku singkat.
"Buat bayar hutang katanya, Mas," jawab Risa singkat. Dia kembali menonton sinteron favoritnya di tivi.
"Nah, kan. Pasti pinjam duit lagi dan lagi. Entah buat apa gaji suaminya itu, duit segitu aja dia nggak punya sampai ngutang segala."
Risa hanya angkat bahu. Seperti biasa dia tak terlalu peduli tiap kali membahas hutang ibu ataupun masalah Rima. Ponsel berdering cukup nyaring beberapa kali. Kuambil ponsel di meja rias dalam kamar.
Diana? Tumben dia telepon sore-sore begini. Gegas kutekan tombol hijau untuk mengangkat panggilannya.
"Assalamu'alaikum, Din. Ada apa?" tanyaku mengawali pembicaraan dengannya.
"Wa'alaikumsalam, Mas. Cuma mau tanya, kamu ditelepon Rima terus nggak seharian ini? Aku hampir setiap jam soalnya. Pesan di whatsapp juga banyak banget nyuruh aku jenguk ibu," ucap Diana dengan nada sedikit kesal.
"Sama lah, aku juga ditelepon seharian. Bahkan Risa kena terornya juga. Biasa kan dia kalau akhir bulan begini jatah bayar bon di warung. Jadi sekalian nyuruh kita jenguk ibu, sekalian dia mau ngutang," balasku dengan kekesalan yang sama.
Aku dan Diana memang sering bertukar kabar. Sering juga liburan bersama. Entah mengapa aku lebih cocok jika ngobrol atau bertukar cerita dengannya dibandingkan dengan Rima. Selalu nyambung jika diajak bahas apa pun. Mungkin karena dia mandiri juga dan tak sering merepotkan jadi aku merasa lebih nyaman.
Beberapa kali dia memang pernah pinjam duit puluhan juta tapi selalu dikembalikan tepat waktu tak seperti Rima yang hanya pinjam ratusan ribu tapi berbulan-bulan belum balik.
Alasannya cuma itu-itu saja, uangnya kepakai buat beli bayar cicilan kursi roda ibu lah, buat beli vitamin ibu lah, buat kontrol ibu atau lainnya yang entah benar entah salah.
"Kemarin dia juga mau pinjam duit seratus lima puluh ribu. Katanya mau buat bayar utang Bu Saniah. Tapi nggak aku kasih. Maksudku baik ini biar dia nggak ketergantungan. Kalau pinjam berapa saja selalu aku kasih, dia bisa keenakan nanti," cerita Diana lagi dan aku pun mengiyakan keputusan baiknya. Memang nggak perlu dipinjami supaya nggak ketergantungan lagi.
"Risa barusan juga cerita katanya kemarin si Rima mau pinjam duit dengan nominal sama sepeti yang kamu sebutkan itu, cuma dia nggak kasih. Bagus lah biar anak itu bisa belajar mandiri dan nggak bergantung pada orang lain."
"Benar, Mas. Kita kompak saja nggak mau kasih pinjaman, biar Rima tahu bagaimana caranya berhemat dan menabung. Setidaknya untuk kebaikan dia juga, kan? Sewaktu-waktu ada kebutuhan mendadak bisa pakai tabungan," ucap Diana lagi.
"Ibu selalu saja menjadi tameng padahal yang boros justru dia sendiri," ucapku. Diana mengiyakan juga. Berarti memang dia pemboros.
"Rima bilang kalau beberapa hari ini sakit ibu tak seperti biasanya, Mas. Dia juga bilang kalau ibu nggak mau makan dari kemarin, dia pengen ketemu kita dulu, Mas. Menurutmu mengada-ngada nggak sih dia?"
"Nggak usah didengerin lah. Dari dulu ibu nggak pernah begitu kalau sakit. Nggak manja. Rima saja mungkin yang pengen kita main ke rumah pakai bawa nama ibu segala. Dasar anak itu."
"Bahkan dia ngancam aku juga, Mas. Kalau hari ini nggak pulang, jangan sampai menyesal jika terjadi apa-apa sama ibu, begitu katanya. Aku kok jadi khawatir ya, Mas?" ucap Diana lagi dengan nada khawatir.
"Kamu di mana sekarang? Rima juga ngomong begitu sama aku. Tapi sudah lah, bisa saja dia cuma menakut-nakuti, kan?"
"Aku lagi di luar kota ada tugas kantor, Mas. Sekarang sih masih di hotel. Kalau kerjaan sudah selesai dua hari lalu cuma karena weekend, aku liburan sekalian. Kamu di rumah apa di mana, Mas?"
"Di rumah sama Risa dan anak-anak. Seharian jalan-jalan, shopping dan makan. Kenapa?"
"Belum maghrib nih, Mas. Apa kita ke rumah ibu sekarang saja? Perasaanku jadi nggak enak begini," ucap Diana kemudian.
Aku terdiam sejenak. Diana benar, sejak siang tadi sebenarnya perasaanku juga nggak enak tapi tak terlalu kurasakan karena melihat kebahagiaan istri dan kedua jagoan. Tapi setelah Diana bilang seperti ini, mendadak ada sesak dalam dada yang sulit kujelaskan mengapa.
"Yasudah, Di. Kita ke rumah ibu sekarang. Nanti ketemu di sana saja. Awas saja kalau Rima dusta. Bisa kumaki-maki dia nanti, ngerjain kakak sendiri. Sudah capek seharian mau istirahat sebentar saja terpaksa harus ke rumahnya," ucapku.
Diana pun mengiyakan lalu mengucap salam dan menutup ponselnya.
"Ris, ayo ke rumah ibu sekarang. Perasaanku nggak enak, takut terjadi apa-apa," ucapku pada Risa yang masih asyik menikmati sinetron.
"Ah, Mas. Nggak ikut deh. Capek banget aku hari ini, lagian anak-anak pasti juga nggak mau. Mereka masih asyik dengan mainan baru. Besok saja kan bisa? Sudah mau maghrib pula," ucap Risa kemudian.
Kuhembuskan napas panjang. Risa memang selalu begitu, tak terlalu peduli dengan keluargaku. Tapi mau gimana, memang Rima juga yang salah selalu saja merepotkanku.
"Ya sudah kalau begitu, aku berangkat sendiri, ya? Jaga anak-anak," ucapku pada Risa sembari tersenyum tipis. Dia mengangguk pelan, mengantarku sampai garasi.
Kupacu mobil perlahan menuju rumah ibu. Entah mengapa, semakin dekat semakin berdebar jantungku. Mungkin kah terjadi sesuatu dengan ibu?
Selengkapnya di KBM APP
![]() |
Tangis Ibu Part 7 |
0 koment: