Senin, 24 Oktober 2022

Tangis Ibu Part 8 karya NawankWulan tayang full di KBM APP

 


TANGIS IBU DI USIA SENJANYA 8
 
{Banyak anak belum tentu bisa merawat satu orang ibu}
 
 
 
Pov : Mbak Diana 
 
 
"Mbak Din ... Ibu kangen sama Mbak, tolong datang ke rumah sekarang, ya? Mumpung weekend dan mbak nggak kerja. Dari kemarin ibu nanyain mbak Diana tapi kubilang tunggu libur kerja dulu. Kasihan ibu selalu nanyain dan nungguin mbak di teras rumah tiap jam pulang kerja. Sepuluh atau dua puluh menit saja juga nggak apa-apa yang penting ditengok, ibu juga sudah lega dan bahagia," ucap Rima beberapa hari yang lalu saat ditelepon. 
 
 
 
Aku iyakan saja daripada dia terus ngoceh nggak kelar-kelar. Tapi sampai sekarang aku juga belum datang. Selain capek kerja, tiap pulang juga macet. Aku ingin segera istirahat di rumah, kalau mampir ke tempat ibu pasti istirahatku tertunda. Saat weekend pun waktuku dengan anak-anak liburan karena seminggu sudah kutinggal kerja. Jadi wajar jika ada quality time. 
 
 
 
Aku harus mengutamakan keluarga kecilku lebih dulu, kan? Pikirku, untuk ke rumah ibu bisa kapan saja nanti saat aku sudah sempat. Namun sepertinya Rima nggak pernah menyerah, bahkan sengaja menyuruh ibu untuk datang ke rumah. Seperti tempo hari, ibu yang biasanya memakai kursi roda tiba-tiba sudah muncul di halaman dengan tukang ojek. 
 
 
 
"Ibu ngapain ke sini, Bu?" tanyaku padanya yang baru saja dibantu tukang ojek untuk duduk di teras. Dia terlihat begitu kelelahan, namun aku tak terlalu peduli. Bukan kah salah ibu sendiri harus repot-repot datang ke rumah ini? Aku tak pernah memintanya untuk datang ke sini. 
 
 
 
"Ibu kangen sama kamu, Din. Sudah lama kamu nggak datang menjenguk ibu," ucapnya kala itu. Ada wajah sendu di sana. Kedua matanya pun berkaca-kaca. 
 
 
 
"Aku masih sibuk, Bu. Banyak urusan kantor yang harus kuselesaikan. Aku sudah bilang sama Rima kan? Kalau sudah ada waktu juga akan menjenguk ibu. Apa Rima sengaja nggak menyampaikan pesanku?" Aku balik bertanya pada ibu yang masih berusaha menata napasnya. 
 
 
 
"Adikmu sudah bilang, Din. Tapi ibu sendiri yang ngotot ke sini bahkan saat ini ibu juga tak bilang sama dia kalau ibu mau ke sini. Kamu masih ada waktu untuk mengejar karir, Din. Tapi belum tentu kamu bisa mengejar waktumu bersama ibu," ucap ibu lirih. 
 
 
 
Aku tak paham mengapa ibu bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Kesal sekali rasanya melihat ibu begitu. Terlalu manja menurutku karena biasanya bila sakit ibu tak pernah seperti itu. Ibu selalu mengiyakan tiap kali aku bilang belum bisa datang. Ibu selalu berpesan agar aku menjaga kesehatan. Tapi akhir-akhir ini kurasakan ibu sedikit berubah, tak seperti biasanya. Padahal sakitnya pun biasa saja.
 
 
 
"Ibu, Diana ada rapat hari ini. Tolong ibu pulang saja. Nanti kalau Diana sudah ada waktu pasti ke rumah ibu," ucapku kala itu, beranjak dari teras untuk kembali ke kamar. Aku memang ada rapat siang itu. Baru beberapa langkah, kudengar ibu berucap lirih namun aku tak menggubrisnya.
 
 
 
"Kamu akan menyesal bila sudah tak bisa menjenguk ibu, Din." 
 
 
 
Air mataku menitik melihat wajah ibu yang berduka saat kutinggal pergi begitu saja, beruntung Rima sudah menjemputnya saat itu. 
 
 
 
Kupikir, drama rindu itu sudah usai karena ibu sudah bertemu denganku namun nyatanya nggak sampai di situ. Rima terus saja merecomi hari-hariku. Mengirimkan pesan, menelepon bahkan menanyakan kabarku pada satpam kapan pulang dari luar kota. Benar-benar seperti peneror. 
 
 
 
"Assalamu'alaikum, Mbak Diana. Tolong ke rumah sebentar saja. Sepuluh atau dua puluh menit pun tak apa. Ibu pengen lihat kamu sama Mas Oky, Mbak. Tolong, sakit ibu nggak seperti biasanya. Ibu nggak mau makan sebelum bertemu kamu dan Mas Oky," ucap Rima lagi dengan drama tangisnya kembali. Pusing sekali aku mendengar sandiwaranya itu-itu lagi. Sengaja kututup teleponnya dengan alasan masih ramai karena di tempat wisata, padahal aku masih makan di resto. 
 
 
 
Capek! Aku memang bukan perempuan yang cengeng seperti Rima, yang pasti lebih mandiri, kuat dan pantang menyerah. Kadang aku kesal dengan sikap adikku itu sungguh berbeda 180 derajat denganku. Terlalu mendramatisir segala sesuatu. 
 
 
 
Kadang ada hal-hal yang dia takutkan, padahal belum tentu semua benar. Kadang menerka-nerka kejadian berikutnya padahal belum tentu sesuai persepsinya. Entah lah, dari dulu aku memang nggak sejalan dengan dia.  
 
 
 
|Mbak Din aku serius, kali ini sakit ibu memang tak biasa. Kumohon, tolong tengok ibu. Ibu beberapa kali mengigau namamu dan Mas Oky. Aku sangat takut ibu kenapa-napa. Tapi jika memang kamu malas menjenguk ibu, terserah! Ingat Mbak, penyesalan selalu datang belakangan. Jangan sampai kamu menyesal setelah merasa kehilangan|
 
 
 
Pesan dari Rima dua hari yang lalu belum juga kubalas. Bahkan hanya kubaca dari pemberitahuan saja. Kemarin aku memang bersikap biasa, namun hari ini entah mengapa ada sesak yang tiba-tiba menekan dada. Hampir saja aku kehabisan napas karenanya, padahal sebelumnya aku tak pernah merasakan seperti ini. 
 
 
 
Gegas kupacu mobil menuju rumah ibu. Ada bendera kuning yang terpasang di depan gang. Beberapa orang berjalan perlahan ke arah depan, searah dengan mobilku berjalan. Ingin rasanya bertanya siapa yang berduka, namun kuurungkan. 
 
 
 
Semakin dekat, sesak ini semakin menyiksa. Apalagi saat aku tak bisa membelah gerombolan orang yang berjalan menuju tempat duka. Terpaksa aku parkirkan mobil beberapa ratus meter dari rumah ibu. 
 
 
 
Kumatikan mesin mobil lalu menelepon Mas Oky. Dia sudah datang atau belum, malas rasanya kalau menunggu ibu di rumah hanya dengan Rima saja. Yang ada aku emosi melihat dia tang hanya bisa menangis dan menangis saja. Tanpa bisa memberi solusi apa-apa di setiap masalah yang ada. 
 
 
 
"Assalamu'alaikum, Mas. Kamu di mana? Aku parkir agak jauh dari rumah ibu, terlalu banyak orang yang jalan ke arah yang sama. Sepertinya ada yang meninggal, entah siapa aku juga belum sempat tanya. Kalau kamu masih di jalan, aku tunggu di sini ya, Mas. Samping pos ronda," ucapku pada Mas Oky yang terdengar cukup berisik. 
 
 
 
"Wa'alaikumsalam, Din. Kamu buruan ke sini Diana. Orang-orang itu takziah ke rumah ibu, Din," ucap Mas Oky di sela isaknya.
 
 
 
"Maksudmu gimana sih, Mas? Kamu di mana?" Pikiranku mendadak kacau. Tak bisa berpikir jernih.
 
 
 
"Ibu meninggal, Diana. Ibu meninggal!" Mas Oky mengatakan cukup keras. Air mataku mulai menetes ke pipi begitu saja. Langit mendadak gelap. Kutatap lalu lalang orang dari balik jendela mobil yang terbuka. Semakin lama kedua mataku semakin samar dan berkunang-kunang. Perlahan mulai redup dan menghilang. Aku tak ingat apa-apa lagi setelahnya, hingga akhirnya kudapati suara ibu-ibu yang memintaku untuk istighfar agar lebih tenang.
 
 
***

Selengkapnya di KBM APP
Tangis Ibu Part 8


Previous Post
Next Post

0 koment: