Jangan lupa subscribe sebelum membaca ceritanya, ya, Kak. Boleh juga tinggalkan love dan komennya. Terima kasih 💕
TANGIS IBU DI USIA SENJANYA
{Banyak anak belum tentu bisa merawat satu orang ibu}
Ibu memintaku untuk membawanya pulang ke rumah, untuk menghemat biaya. Ibu begitu pengertian, tahu keadaan ekonomiku yang tak baik-baik saja. Terkadang, aku merasa gagal menjadi anak untuknya. Aku tak bisa diandalkan dari segi apa pun. Bahkan sekadar memenuhi keinginan ibu untuk makan jajan ini itu saja terkadang harus kutunda, menunggu Mas Adam gajian tiap sabtu.
Iri. Kadang begitu lah yang kurasakan tiap kali melihat status whatsapp Mbak Diana dan Mbak Risa yang sering jalan-jalan, makan di restoran atau shopping di mall. Fashion mereka berkelas dan branded, sementara aku hanya daster lusuh yang sudah pudar warnanya. Namun tiap kali melihat peluh yang menetes di dahi Mas Adam, semua iri itu lenyap seketika.
Aku merasa sangat beruntung memiliki suami sepertinya yang perhatian, penuh kasih dan tanggung jawab pada keluarga. Begitu menyayangiku bahkan sangat menghormati ibu sebagai mertuanya. Dia yang sering memintaku untuk menanyakan keinginan ibu. Dia yang selalu berusaha mewujudkan permintaan ibu meski harus ditukar dengan peluh di dahinya, dengan tenaga dan rasa lelahnya.
"Hanya ibu yang kita miliki saat ini, Dek. Bahagiakan dia selama dia masih ada. Karena ridhonya akan membuat hidup kita lebih tenang dan bahagia. Ibu adalah kunci surga kita, surga di dunia kita. Ada nama kita di setiap doa dan sujudnya.
Tak sepadan rasanya membalas untaian doa-doa di tengah isaknya sekadar dengan menuruti keinginannya yang tak seberapa itu. Sabar dan ikhlas lah, agar hari-hari tua ibu merasa tenang bersamamu."
Pesan Mas Adam waktu itu selalu aku ingat. Karena itu pula sekarang aku tak pernah lagi membahas masalah ibu pada kedua kakakku. Aku akan merawatnya sendiri, karena tak semua anak dikaruniai hidayah dan hati yang terbuka untuk merawat ibunya.
Biar saja kedua kakakku tenggelam dalam dunianya sendiri jika memang tak mau ikut campur masalah ibu, yang pasti aku sudah berulang kali mengingatkan. Namun yang kudapatkan hanya lah makian.
Kulihat ibu masih terbaring di pembaringan saat kubuka pintu kamarnya. Sepertinya ibu sudah sempat membuka jendela kamarnya, mungkin kembali mengantuk hingga dia balik ke pembaringan.
Kuperiksa keningnya masih saja demam. Sudah tiga hari ini belum juga turun. Aku ingin mengajak ibu ke klinik lagi, namun ibu selalu menolaknya. Dia hanya ingin melihat Mbak Diana dan Mas Oky datang menjenguk, katanya. Sesak sekali dadaku tiap kali ibu mengatakan itu. Tapi apa mau dikata, tiap kutelepon tak pernah mereka angkat bahkan sesekali sengaja ditolak.
Kukirimkan pesan di whatsapp, Mbak Diana dan Mas Oky kompak menjawab belum bisa menjenguk ibu karena masih sibuk tugas di kantor. Mas Oky sibuk dengan promosi jabatan sementara Mbak Oky masih ke luar kota. Sudah selesai tugas kemarin sore namun dua hari berikutnya ingin sekalian liburan, katanya.
Mereka tak terlalu peduli dengan keadaan ibu. Mungkin mereka pikir, sakit ibu seperti sakit-sakit sebelumnya. Yang akan sembuh setelah minum obat warung. Padahal aku merasa, sakit ibu kali ini sangat berbeda. Ibu benar-benar merindukan kehadiran kedua anaknya itu. Mungkin di detik-detik terakhir dalam hidupnya.
Sesekali kulihat ibu terbatuk, namun kedua matanya masih saja terlelap. Pikiranku makin tak tentu, apalagi saat kulihat kue bolu di atas meja sejak semalam masih utuh tak tersentuh, padahal ibu bilang akan memakannya setelah tilawah pasca salat isya'.
"Bu ... Rima antar ke klinik lagi saja, ya? Rima nggak tahu detail kondisi ibu jika di rumah. Tak tahu juga obat-obat yang bisa membantu menyembuhkan ibu," ucapku lirih. Bulir kecil menetes di kedua pipi.
Ibu tak menjawab pertanyaanku, hanya menggelengkan kepala perlahan.
"Kenapa bolunya nggak dimakan, Bu? Apa nggak enak?"
"Bukannya nggak enak, Rima. Ibu lagi nggak nafsu makan sekarang," ucap ibu masih dengan mata terpejam.
"Ibu bilang pengen makan bolu?"
"Iya kemarin tapi pas udah datang mendadak mual. Jadi ibu nggak makan sedikit pun. Buat kamu saja sama Adam, ya? Jangan sampai berjamur dan terbuang sia-sia. Mubazir."
"Iya, Bu. Nanti Rima simpan buat Mas Adam. Sekarang ibu pengen makan apa? Harus makan, ya, Bu. Biar cepat sehat," ucapku lagi. Kuusap kening ibu yang penuh dengan keriput.
Ibu hanya menggeleng perlahan, pertanda tak menginginkan apa-apa.
"Makan dong, Bu. Nanti Rima suapin, ya? Bubur ayam mau? Apa ibu mau teh hangat? Atau susu? Rima bikin dulu, ya?" tawarku lirih sembari memijit lengan kanan ibu. Kuselimuti sebagian tubuh ibu agar sedikit lebih hangat.
"Bu ...." panggilku lagi. Kedua sudut ibu melengkungkan senyum, namun matanya belum juga terbuka.
"Kamu lanjutkan goreng tempe sama tahunya saja, Rima. Ibu sendirian nggak apa-apa. Semangat untuk cari rejeki halalNya agar kamu dan Adam tak selalu dihina. Ohya, kamu sudah minta kakakmu untuk menjenguk ibu, kan?" tanya ibu lirih.
Kuhembuskan napas panjang. Bingung sekali apa yang harus kukatakan pada ibu. Harus kah aku jujur atau kembali menutupi ketidak pedulian mereka pada ibu? Jika jujur, ibu pasti sangat terluka. Aku tak ingin memperparah luka di hatinya.
"Sudah, Bu. Mbak Diana masih di luar kota ada urusan kantor, sementara Mas Oky masih begitu sibuk karena baru dipromosikan jabatan, Bu. Mungkin sekarang baru naik jabatan, entah lah. Rima juga nggak terlalu paham," ucapku lirih.
Ibu hanya mengangguk perlahan.
"Semoga kedua kakakmu tak terjerumus dengan kemewahan dunia terlalu dalam."
Hanya itu yang ibu ucapkan. Kutawarkan air putih untuk ibu namun dia jua tak mau.
"Sudah, Rim. Ibu mau istirahat sebentar, rasanya lelah sekali. Ngantuk, semalaman ibu nggak bisa tidur. Kamu goreng-goreng saja biar bisa kamu titipkan ke Mak Niah. Lumayan kan masih cukup pagi ini," ucap ibu lagi. Aku pun mengangguk pelan, menuruti nasehat yang ibu berikan.
Gegas kumelangkah ke dapur untuk membuat mendoan, ketela goreng, bakwan dan tahu goreng untuk dititipkan ke warung bakso Bang Rojak dan warung nasi Mak Niah. Semoga saja laris dan tak bersisa seperti kemarin. Setidaknya bisa membelikan buah-buahan atau makanan yang ibu inginkan.
Aku mulai meracik kobis, wortel, kecambah dan tepung untuk membuat bakwan goreng. Tak lupa bumbu-bumbu halusnya. Setelah memasukkan adonan ke penggorengan kukecilkan kompor, kembali memeriksa keadaan ibu. Alhamdulillah ibu masih mendengar suaraku, sesekali memberikan nasehatnya kembali. Nasehat yang sama seperti sebelumnya.
Apa ibu sudah mulai tak ingat dengan ucapan sebelumnya? Kenapa ibu mengulang-ulang kalimat yang sama tiap kali aku datang menemaninya?
"Ibu mau makan apa? Nanti Rima belikan, Bu. Buah mau?"
Ibu menggeleng pelan.
"Ibu harus makan walau sedikit ya, Bu? Gimana ibu cepat sembuh kalau ibu nggak mau makan?"
Ibu terlihat menghembuskan napas panjang.
"Ibu nggak mau makan sebelum kedua kakakmu datang, Rima." Dadaku kembali berdebar mendengar jawaban dari ibu.
'Oh ibu, Rima nggak tahu mereka akan datang atau nggak untuk menjenguk ibu.'
Selengkapnya di KBM App ...
***
0 koment: