TANGIS IBU DI USIA SENJANYA 4
{Banyak anak belum tentu bisa merawat satu orang ibu}
Aku naik ojeg menuju rumah Mbak Diana. Sekitar dua puluhan menit aku sudah sampai sana. Kulihat ibu masih duduk di teras sendirian. Ibu terlihat menyeka kedua sudut matanya yang basah.
"Ibu ... kenapa ibu nggak bilang Rima dulu kalau mau ke rumah Mbak Diana?" tanyaku saat sampai di sebelah ibu.
Ibu mendongak ke arahku dengan senyum yang begitu dipaksakan. Aku tahu itu.
"Kakakmu benar-benar keterlaluan, Rim. Terlalu perhitungan sama saudara sendiri. Padahal dia sangat mapan begini. Sesak dan sakit hati ibu melihat kamu lari ke sana-sini cari pinjaman, duit segitu bagi Mbak Diana cuma gajinya setengah hari."
Ibu kembali menitikkan air matanya. Kulihat Mbak Diana ke luar dengan dandanan rapi seperti mau kondangan.
"Selalu begitu ya, Bu. Ibu memang selalu membanding-bandingkan aku dengan Rima. Aku bukan bank yang banyak duitnya, Bu. Nggak patut juga kalau Rima terlalu bergantung padaku," ucap Mbak Diana dengan nada tak enak terdengar.
"Bergantung gimana, Din? Bahkan kamu dan Oky itu tempat terakhir Rima setelah berusaha ke sana ke mari nggak dapat pinjaman. Harusnya kamu sadar, Din. Dulu saat bapak masih ada, kamu dan Mas Oky bisa sekolah tinggi. Sekarang bisa kerja di perusahaan besar, sementara Rima? Dia hanya lulus SMA karena bapak sudah tiada. Ibu tak sanggup menyekolahkannya. Bahkan dia ngajar sembari kuliah, sekarang? Terpaksa dia cuti kuliah juga demi merawat ibu. Harusnya kamu bisa membantunya, saudara harus bisa saling menjaga dan membantu satu sama lain. Bukan malah membiarkan dan mengabaikan," ucap ibu diiringi bulir bening di kedua pipinya.
"Oh jadi ibu ke sini hanya ingin ceramah? Meninggikan Rima dan menjatuhkan aku?"
"Bukan begitu, Din. Hanya saja ibu ingin anak-anak ibu saling mengasihi. Bukan egois dan tak peduli seperti ini."
"Ibu kalau ke sini cuma mau ceramah, mending pulang saja. Aku mau kondangan juga sama teman kantor," ucap Mbak Diana sembari membuka pintu mobil. Tanpa banyak bicara kakak perempuanku itu melajukan mobilnya begitu saja membelah jalanan yang masih cukup lengang.
"Astaghfirullah ...." Ibu kembali beristighfar dan menghembuskan napas sesak. Kedua matanya terpejam lalu jatuh begitu saja.
Satpam di rumah Mbak Diana membantu membaringkan ibu ke sofa ruang tamu.
Aku cukup kebingungan karena tak ada siapa-siapa selain Pak Yanto dan Mbak Ina di rumah. Dua anak Mbak Diana juga masih di sekolah. Dengan modal celengan gerabah tadi aku bisa memesan taksi dan membawa ibu ke klinik terdekat.
|Mbak, dari rumah Mbak Diana tadi ibu masuk klinik Husada. Sepertinya hipertensi ibu kambuh lagi. Mbak bisa ke sini, kan nanti?|
Pesan untuk Mbak Diana hanya ceklis satu. Aku kirimkan pesan yang sama pada Mas Oky. Semoga salah satu di antara mereka bisa menjenguk ibu di klinik setelah mereka pulang nanti.
"Rim, nanti kalau ibu pergi, tolong selesaikan utang almarhum bapak, ya? Bagaimanapun juga hutang wajib dibayar karena tanggungannya sampai akhirat. Kamu tahu itu, kan?"
Suara ibu terdengar begitu lirih. Sesekali matanya terpejam entah apa yang kini dia rasakan. Sakit dalam tubuhnya atau sakit dalam hatinya.
"Ibu tak perlu khawatir soal hutang bapak dan ibu, InsyaAllah aku dan Mas Adam akan berusaha melunasi semuanya sebanyak apa pun itu. Yang penting sekarang, ibu jangan mikir aneh-aneh dulu. Ibu lekas sembuh, ya?" ucapku sedikit serak menahan isak.
"Kamu yang sabar menghadapi kedua kakakmu, ya, Rin. Doakan saja agar mereka bisa menghargai kamu dan Adam," ucap ibu lagi. Ibu menyeka kedua pipinya yang basah.
"Yang penting mereka menghargai dan bisa menyayangi ibu itu sudah cukup, Bu. Kalau untuk Rima dan Mas Adam tak masalah jika mereka memang tak menganggap kami saudara. Karena toh kami memang terlalu jauh berbeda," ujarku lirih.
Ibu mengusap lengan kiriku perlahan.
"Kamu anak yang baik, Rima. InsyaAllah kelak kamu akan bahagia."
Lagi-lagi kudengar doa tulus meluncur dari bibir ibu.
"Nanti kalau rumah peninggalan bapak dijual, bilang sama kakakmu untuk melunasi hutang almarhum bapak dulu sebelum dibagi rata."
Aku hanya mengangguk pelan sembari tersenyum menatap manik mata ibu yang masih berkaca-kaca.
"Catatan hutang bapak ada di dalam laci lemari ibu. Kamu ambil saja dan simpan di lemarimu agar tak hilang."
Aku kembali mengangguk.
"Ibu, nanti sorean Rima belikan martabaknya ya? Sekarang sepertinya belum buka," jawabku mengalihkan pembicaraan ibu. Aku hanya ingin sedikit mengabulkan permintaan sederhana ibu dan mengalihkan pikiran buruknya tentang Mbak Diana dan Mas Oky. Kulihat ibu tersenyum sembari mengangguk perlahan.
"Ibu capek, Rim. Capek menghadapi kedua kakakmu yang tak pernah mau mengerti dan mau menang sendiri. Capek pada mereka yang selalu menghinamu dan membuatmu sakit hati. Ibu ingin marah tapi tak mampu. Begitu lah hidup, Rima. Bila kita memiliki banyak harta, tetangga pun akan mengaku saudara. Namun sebaliknya, jika kita tak memiliki banyak uang, saudara kandung sendiri pun enggan mengakui dan menyapa."
Lagi-lagi ibu menyeka kedua pipinya yang begitu basah. Aku menatapnya dengan pandangan yang entah. Rasanya sakit sekali dadaku melihat ibu begitu terluka. Aku tak tega melihatnya selalu dihina bahkan diacuhkan anaknya sendiri, namun apa mau dikata, berulang kali aku meminta agar Mbak Diana dan Mas Oky untuk lebih perhatian pada ibu, mereka justru menuduhku macam-macam. Seolah aku hanya membuat drama bahwa ibu sedang tak baik-baik saja.
"Ibu ... Mbak Diana sama Mas Oky memiliki jabatan penting di kantornya, wajar jika mereka sibuk. Mungkin nanti kalau sudah tak sibuk, mereka akan menjenguk ibu. Kalau Rima, ibu tahu sendiri kan kalau Rima memang tak punya pekerjaan. Jadi wajar bila Rima selalu banyak waktu untuk ibu," ucapku berusaha membesarkan hatinya.
Ibu hanya menggeleng pekan sembari tersenyum tipis.
"Memang begitu, Rima. Sudah lumrah, jika manusia dibutakan oleh kemewahan dunia maka mereka akan lupa dengan kehidupan di akhirat sana. Kamu jangan begitu, ya? Dunia memang penting namun akhirat jauh lebih penting. Jangan terbalik."
Aku kembali mengangguk. Perasaan takut kembali menyesaki hati. Entah mengapa, namun yang pasti kurasakan getaran lain di setiap pesan yang ibu sampaikan. Tak biasanya ibu sepasrah dan selelah ini. Tak seperti biasanya ibu seterluka ini.
Biasanya aku selalu melihat senyum dan tawa ibu meski kedua kakakku sering kali menyakiti hatinya. Ibu bisa menutupi kecewa dan dukanya terhadap Mbak Diana dan Mas Oky di depanku. Bersikap biasa saja meski tersandung pilu. Tapi kali ini ibu berbeda. Mengapa? Ini bukan sebuah firasat jika ibu akan pergi selamanya, bukan?
***
Jangan lupa love dan komennya ya, Kakak 💕💕
Selengkapnya di KBM APP
![]() |
Tangis Ibu Part 4 |
0 koment: