TANGIS IBU DI USIA SENJANYA
{Banyak anak belum tentu bisa merawat satu orang ibu}
Aku melihat mendung di wajah ibu, sejak kedua anaknya seolah menolak kehadiran ibu beberapa hari lalu. Meski ibu tersenyum, tetap saja ada luka dalam hatinya yang sengaja dia pendam dalam diam.
Kubawakan secangkir jahe hangat dengan sepiring singkong goreng favoritnya.
"Ibu, sarapan dulu, ya? Maaf Rima hanya bisa memberikan sarapan sederhana buat ibu. Tapi Rima janji, kalau Mas Adam sudah gajian hari sabtu nanti Rima akan belikan ibu makanan enak. Ibu mau apa? Ayam goreng, sate, bakso atau apa, Bu?" ucapku dengan semangat, mencoba untuk mengalihkan duka di wajah ibu.
Ibu tak jua menjawab pertanyaanku, hanya mengusap lengan kiriku perlahan.
"Kamu memang berbeda, Rima. Maafkan ibu selalu merepotkanmu," ucapnya kemudian.
Mata senja itu kembali basah. Wajahnya yang mengeriput membuat sesak dalam dadaku, karena hingga setua ini aku belum mampu mewujudkan apa yabg ibu minta. Bahkan sekadar jalan-jalan ke kota saja aku belum mampu mengabulkannya.
Dulu karena terbentur dana, namun sekarang bertambah lagi masalahnya, terlalu sulit jika aku harus memapah ibu naik turun angkot menggunakan kursi roda.
"Ibu pengen juga ke alun-alun, Rim. Sepertinya enak ya di sana sambil makan jagung bakar," ucap ibu suatu malam saat aku dan dia bercengkerama di teras rumah.
"Insyaallah nanti ya, Bu. Kalau hutang di warung Mbak Mina sudah lunas. Malu 'kan kalau Mbak Mina tahu kita jalan-jalan sementara masih punya hutang yang lumayan?"
Ibu kembali tersenyum lalu mengangguk perlahan.
"Kenapa kamu nggak coba minta sama kakakmu, Rim? Mereka yang harusnya merawat ibu karena hidup mereka sudah mapan dan kecukupan," ucap ibu kemudian.
"Sudah, Bu. Tapi ...."
"Kakak-kakakmu banyak alasan lagi? Pasti duitnya mau buat beli tivi, motor, spring bed, ponsel atau jalan-jalan ke luar kota lagi, kan?" Kulihat wajah pasrah dan kecewa di sana. Berusaha tersenyum meski setengah dipaksa.
"Nggak tahu, Bu. Mungkin memang belum ada dana. Nggak apa-apa nanti dicicil sedikit demi sedikit juga lunas," jawabku lagi.
Aku sendiri cukup bingung untuk menjelaskan dan memberikan alasan pada ibu kenapa Mas Oky dan Mbak Diana tak juga mengirimi uang bulanan. Padahal mereka juga tahu, ibu selalu berobat tiap bulan. Dia juga tahu penghasilanku sebagai honorer dan Mas Adam sebagai buruh bangunan pas-pas an.
"Sudah. Sudah. Kamu tak perlu bingung untuk mencari alasan, Rim. Ibu tahu mereka memang masih sibuk dengan urusan dunia. Biarkan saja."
Air mata itu menitik di kedua sudut matanya. Astaghfirullah, apa yang harus kulakukan agar dua kakakku itu sadar? Paling tidak, mau menjenguk ibu meski hanya sekali seminggu atau sekali dalam sebulan. Lagipula rumah mereka juga tak terlalu jauh dari sini hanya hitungan menit saja.
"Rim ... Rima!" Ibu menggoyang lenganku pelan, membuatku terjaga dari lamunan.
"Eh, iya, Bu. Ada apa?" tanyaku gugup.
"Ibu boleh minta sesuatu? Nanti sore belikan martabak telur, ya? Nggak tahu kenapa ibu pengen makan itu, kayak orang ngidam saja rasanya," pinta ibu malu-malu.
"Oh ibu pengen martabak telur? Iya, Bu. InsyaAllah nanti sore Rima belikan, ya?" ucapku kemudian.
"Memangnya kamu punya uang?"
Deg. Benar ucapan ibu. Aku memang tak punya uang. Tapi nanti kucoba telepon Mas Adam, barangkali dia bisa pinjamkan temannya dulu, hari sabtu nanti dibayar. Jarang-jarang ibu minta sesuatu, selagi terjangkau InsyaAllah akan aku usahakan.
"InsyaAllah punya, Bu. Ibu tak perlu khawatir, lagipula harga martabak berapa, nggak harus jual kambing tetangga kan?" Ibu tertawa mendengar jawabanku. Tawa yang selalu ingin kudengar dan kulihat. Tawa yang selalu membuatku lebih semangat.
Sejak seminggu lalu aku memang sudah tak bekerja karena ingin fokus merawat ibu saja. Hanya mengandalkan gaji Mas Adam yang hanya bersisa tak seberapa karena sudah sering diambil dimuka untuk beli beras.
Beruntung mandornya baik hati, bisa hutang dulu dipotong saat gajian. Kalau nggak, aku dan ibu bisa kelaparan karena malu ngutang terus-terusan.
"Ibu selalu menyebut namamu dan Adam di setiap salat, Rima. Ibu yakin kelak kalian akan sukses dan bahagia," ucap ibu di tengah isaknya.
"Ibu juga mendoakan Mas Oky dan Mbak Diana, kan, Bu?"
"Jelas itu. Semua anak ibu doakan agar kelak bahagia. Nasib mereka jangan sampai seperti ibu yang nelangsa dari dulu."
Ibu menyeka kedua sudut matanya dengan ujung jilbabnya yang sudah memudar dimakan waktu. Aku belum bisa menggantinya. Gajian minggu lalu habis buat berobat ibu. Minta pada Mas Oky atau Mbak Diana pun percuma, hanya mendapat makian belaka. Capek hati jika harus berurusan dengan mereka.
"Seorang ibu itu, Rim ... meski begitu kecewa dengan anak-anaknya tetap mendoakan kebahagiaan buat mereka."
Ibu menatapku dengan senyum tipisnya.
"Nanti kalau kamu sudah hamil dan menjadi ibu, pasti akan melakukan hal yang sama. Ibu doakan juga supaya kamu dan Adam lekas punya momongan, ya?"
"Nanti dulu lah, Bu. Ekonomi kami belum stabil, mungkin karena itu juga Allah belum mengamanahkan keturunan buat kami setahun pernikahan ini."
"Setiap anak membawa rejeki masing-masing, Rim. Jangan khawatir soal itu," ucap ibu lagi.
"Iya sih, Bu. Cuma sementara ini Rima ingin fokus merawat ibu dulu, sembari menabung buat hal-hal tak terduga nanti. Misal Rima hamil ya buat kontrol, beli vitamin, melahirkan dan lainnya."
Ibu mengangguk pelan. Kulihat Bu Saniah terburu-buru ke arahku. Buliran keringat menetes di dahinya.
"Kenapa, Bu? Ada apa sampai ngos-ngos an begini?" tanyaku gugup.
"Maaf Mbak Rima, bukannya nggak percaya tapi hari ini saya benar-benar butuh uang untuk berobat Si Dino. Dia kecelakaan di depan sekolahnya dan sekarang dibawa ke klinik sama gurunya. Saya nggak punya pegangan, Mbak. Uang 150ribu yang Mbak pinjam tiga hari lalu boleh saya minta sekarang?" tanya Bu Saniah dengan sedikit gelisah. Sepertinya dia tak enak hati karena menagih tak sesuai janji.
"Tapi kemarin ibu bilang bayarnya nunggu Mas Adam gajian sabtu ini nggak apa-apa. Sekarang saya nggak punya uang, Bu. Aduh gimana, ya?" Aku mulai kebingungan juga sekarang. Mau tak mau harus cari uang untuk membayar hutang itu, tak mungkin kubiarkan saja sementara Dino masuk klinik karena kecelakaan.
"Minta kakak Mbak Rima kan bisa. Mereka orang kaya semua masak uang 150ribu saja nggak punya. Iya, kan?" Ibu Saniah menoleh ke arah ibu yang sedari tadi mendengarkan obrolan kami di kursi rodanya.
Pinjam Mas Oky dan Mbak Diana? Mana mungkin diberi, apalagi mendadak begini. Ya Allah, aku harus pinjam ke siapa sekarang? 150ribu bukan uang sedikit, sekadar beli martabak telur 20ribuan saja aku belum ada dana.
Selengkapnya di KBM APP
![]() |
Tangis Ibu Part 2 |
0 koment: